Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Senin, 25 Oktober 2010

Artikel Perempuan


Dilematisasi Kemiskinan Perempuan
Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen Pemikiran Islam STAIN Bukittinggi)

            Perempuan seringkali dianggap merupakan salah satu aktor yang senantiasa ada dalam kantong kemiskinan dan jumlah populasinya akan selalu bertambah. Fenomena lebih miskinnya perempuan dibanding laki-laki dalam kelompok miskin bukanlah suatu hal yang baru. Sehingga kenaikan persentase kemiskinan senantiasa berkorelasi dengan kenaikan persentase jumlah perempuan di berbagai wilayah di dunia ini. Dengan kata lain kemiskinan perempuan merupakan penyumbang terbesar pada peningkatan kemiskinan yang ada.
            Walaupun dalam sudut pandang dan kacamata masyarakat serta para ahli dimana posisi dan kondisi miskin memunculkan versi yang berbeda. Hal ini sesuai dengan standar yang diberikan. Dalam perspektif yang wajar, miskin dapat dimaknai mereka yang secara ekonomis dan politik menderita kekurangan dan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material secara layak. Bisa juga yang dianggap mengalami kegagalan untuk mencapai tingkat "kelayakan minimum tertentu". Karena kegagalan mencapai tingkat kelayakan minimum dari standar masyarakat umumnya, dapat diartikan bahwa kemiskinan yang mereka alami adalah dalam kondisi ekonomi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan akan sandang, pangan serta biaya lainnya, termasuk biaya sekolah bagi anak mereka yang terkadang harus mereka cari dengan berhutang ataupun menjual barang berharga yang mereka miliki.
Bahkan tingkat kemiskinan dinilai atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang telah didefinisikan sebelumnya seperti: kondisi fisik dari bangunan atau lingkungan pemukiman. Tidak bisa dipungkiri sebahagian dari kebijakan pembangunan telah melahirkan dampak yang telah melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan struktural. Keterbelakangan dan kemiskinan dalam perspektif wilayah terjadi di perkotaan dan di pedesaan.
Akan tetapi pada wilayah perkotaan ditengarahi dengan "korban"dari pembangunan yang lebih berat ketimbang wilayah pedesaan. Bahkan ada kesan kuat yang menunjukkan kota sebagai realitas yang penuh dengan konflik dan pergulatan yang bisa dikatakan sangat kasar bila dibandingkan dengan dinamika konflik di pedesaan. Dinamika pergulatan konflik yang mewarnai perkotaan menunjukan kecenderungan ”negatif”, mulai dari konflik pertanahan akibat penggusuran, penyelesaian konflik dalam bentuk kekerasan dan kriminalitas sebagai ciri keseharian serta banyak lagi dan bentuk-bentuk lainnya
Secara definitif makna kemiskinan adalah tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia. Setidaknya ada lima persoalan yang berkaitan dengan persoalan tidak tercukupinya kebutuhan mendasar asasi: Pertama, pemenuhan kebutuhan subsistensi menyangkut tidak hanya berhubungan dengan pangan tapi juga sandang dan papan.  Kedua, pemenuhan kebutuhan afeksi, sebuah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, mulai dari rasa aman, rasa damai sampai pada rasa kasih sayang. Ketiga, persoalan identitas juga menjadi hal yang fundamental, karena persoalan pengakuan sebagai warga kota menjadi kebutuhan orang-orang yang mengadu nasib di kota . Keempat, kebutuhan proteksi akan hak-hanya, di samping juga memiliki kebebasan untuk melakukan kreasi. Kelima, kebutuhan ruang untuk berpartisipasi dalam politik, guna memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya"
Belitan kemiskinan selalu saja menyebabkan perempuan menanggung beban yang lebih berat dibanding laki-laki. Menghadapi beban kemiskinan tersebut perempuan mengembangkan strategi untuk mereka bertahan, dan bahkan melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Pada posisi ini perempuan berusaha untuk memahami kemiskinan pada kenyataannya dilihat dari sudut ekonomi semata. Memang kondisi perempuan di berbagai tempat melihat batasan definisi kemiskinan pada kondisi dimana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan dibawah batasan nominal tertentu.
Inilah dalam teori feminis dimana pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan hubungan-hubungan sosial dalam kerja tersebut dan dibentuk berdasarkan gagasan-gagasan jender dalam masyarakat. Bahkan sejak industrialisasi abad pertengahan, keluarga mempunyai peran penting dalam produksi, oleh karena itu kerja perempuan harus dilihat dalam konteks ekonomi keluarga. Sedangkan pendapatan keluarga atau pemasukan laki-laki, dibayarkan atas asumsi bahwa hanya laki-laki yang menjadi penyokong ekonomi yang paling besar di dalam keluarga. Padahal pendapatan keluarga adalah dasar kelahiran pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, karena dilandasi pemikiran bahwa perempuan tidak diharapkan untuk menghasilkan kontribusi ekonomi bagi rumah tangga dan prioritas kerja perempuan adalah pada tanggung jawab domestik.
Perempuan yang bekerja untuk membangun dan membantu peningkaan ekonomi hendaknya selalu dipahami untuk mengangkat derajat perempuan dari kemisikinan. Posisi perempuan di dapur dan kasur dipahami sebagai posisi awal tradisional untuk perempuan. Kalaupun jeritan kemiskinan telah melilit kaum hawa di bumi ini namun keinginan kaum perempuan untuk bersama-sama dengan kaum laki-laki bekerja dan berbuat mesti dihargai sekaligus dalam rangka untuk peningkatan ekonomi keluarga dan perempuan sendiri.  Namun hal inilah yang menjadi dilematis dalam pandangan masyarakat bahwa laki-lakilah yang menompang ekonomi yang dominan dan perempuan hanya merupakan bagian sub koordinasi untuk membantu laki-laki dalam mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan sehari-harinya. ***