Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Jumat, 10 Desember 2010

Islam Kiri

MELACAK AKAR ” ISLAM KIRI” DI INDONESIA
ADLAN SANUR TH,M.Ag
Penulis adalah Dosen Stain Bukittinggi

Istilah ”Islam Kiri” masih belum lazim atau biasa bahkan dianggap tidak pas penggunaannya dalam meneropong kondisi pergerakan Islam di Indonesia dan mungkin atau bisa saja istilah ini salah letak dan tempat digunakan dalam melihat peta tipologi pergerakan Islam di Indonesia. Sebab pemaknaan yang dipakai atau dibangan oleh Penulis bisa saja kemudian tidak sama dengan makna yang dipakai oleh pembaca tulisan ini atau penulis-penulis lainnya di Indonesia.
Karena istilah Islam Kiri ini belum begitu populis di dalam perbendaharaan kata ataupun kosa kata Indonesia apalagi dalam tipologi atau peta keragaman pemikiran di Indonesia seperti adanya istilah yang dipakai, katakanlah itilah Islam Rasional, Islam Tradisional, Islam Modernis, Islam Transformatif, Islam Aktual, Islam Liberal, Islam dan pembagian Islam lainnya, namun menurut penulis untuk sementara istilah ini dipakai saja dulu dalam tulisan ini walaupun akan memunculkan interpretasi yang tidak akan sama nantinya, karena kalau ada kiri Islam tentu akan ada kanan Islam.
A. Islam Kiri dan Hasan Hanafi
Istilah kiri Islam mulai dipakaikan dan dipopulerkan oleh tokoh intelektual Mesir Hasan Hanafi. Hanafi sebagai tokoh public belum begitu dikenal di Indonesia. Hanafi masuk dalam bursa wacana pemikiran Islam di Indonesia pada dekade 1990-an ketika Ia menyentak publik Muslim Indonesia dengan salah satu karya terjemahannya ”Kiri Islam”. Karya Hanafi ini pada dasarnya ingin menegaskan bahwa Islam sesungguhnya sebuah agama kebebasan, seperti mirip teologi pembebasan. Agama Islam yang membebaskan ini itulah yang membuat Hanafi berkesimpulan bahwa Islam sesungguhnya agama Tuhan yang bersifat ”kiri” adanya. Tidak hanya itu, bagi Hanafi semua agama yang berwatak membebaskan bersifat kiri adanya. Watak kekirian itu menurut Hanafi tidak ada kaitan apapun dengan ideologi Barat Kontemporer seperti marxisme, sosialisme dan komunisme.
Beranjak dari kacamata Istilah yang dipakaikan Hasan Hanafi maka ”kiri Islam” yang dimaksud penulis adalah kelompok-kelompok yang keras untuk memperjuangkan sistem kekhalifahan Islam yang relatif menerapkan syariat Islam. Karena salah satu nafas yang menggerakkan para aktifitas Islam adalah latar belakang sejarah Islam yang pernah gemilang, maju dan berwibawa. Umat Islam pernah memimpin peradaban dunia selama tujuh abad. Dengan istilah ”kiri Islam” inilah penulis ingin menjadikannya alat bantu dalam meneropong tentang pergerakan Islam Kiri di Indonesia, yang mana penulis tidak mau memakaikan istilah gerakan radikalisme atau fundamentalisme yang sudah ada karena kedua istilah ini cendrung dipakaikan kepada kelompok terorisme yang pada akhir-akhir ini sering dibahas pada forum ilmiah, seminar ataupun menjadi momok tersendiri bagi aparat kepolisian. Walaupun di sisi lain tidak dipisahkan antara Kiri Islam dengan Islam Garis Keras atau Islam Militan atau Islam Radikal. Namun pemakaian istilah ini tentunya sangatlah berbeda satu sama lain.
B. Pelacakan Akar Sejarah Kiri Islam di Indonesia
Kalau dilacak akar dari munculnya pergerakan Islam di Indonesia maka mau tidak mau faktor eksternal yang muncul di luar wilayah Indonesia tidak bisa dipisahkan. Bila dilihat kaitan antara gerakan kiri Islam di Timur Tengah dengan gerakan militan Islam di Indonesia melalui beberapa aspek, yaitu tokoh, ideologi, metode pembinaan dan organisasi memang agak berbeda akan tetapi secara ikatan hubungan emosionla tentu akan selalu ada oleh sebab itu sebagaimana penulis sampaikan tadi bahwa ada benang merah yang menghubungkan antara jaringan Islam di Indonesia dengan yang ada di luar Indonesia katakanlah seperti munculnya gerakan Ikhwanul Muslimin, gerakan Wahabiah, Gerakan pembaharuan yang dimunculkan oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan gerakan-gerakan lainnya.
Munculnya gerakan Islam Kiri di Indonesia mungkin sama tua atau lebih tua dibandingkan sejarah republik ini. Sebab, eksistensi Islam di tanah air jauh lenih awal dibandingkan sejarah Republik Indonesia. Dalam konteks ini setidaknya bisa kita lihat berlansungnya perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda di abad ke-19. Sejarah mengingatkan kita, perlawanan Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar dan Daud Beurueh yang pada dasarnya bisa dipandang sebagai gerakan umat Islam melawan kekuasaan kolonial Belanda.
Pada bagian lain, politik aliran juga mempengaruhi wajah dan perkembangan Islam di Indonesia. Antropolog Cliiffor Geertz, membangun teori tentang trikotomi aliran politik di Indonesia, khusunya Jawa, yakni santri, priyayi dan abangan. Secara kategoris golongan santri merujuk kepada kelompok masyarakat Islam yang taat menjalankan agama. Golongan priyayi (elit tradisional jawa) dan abangan (rakyat jelata) merujuk kelompok yang kurang taat menjalankan agama meski mereka beragama Islam. Pola aliran ini telah hidup jauh sebelum Indonesia merdeka, sebagai bentuk tradisonalisme politik di negeri ini yang kemudian menggelinding menjadi satu kekutan politik Islam.
C. Hubungan Kiri Islam dengan Organisasi Islam
Pada tahun 1912 berdiri organisasi Syarikat Islam(SI) yang sebelumnya bernama Serikat Dagang Islam (SDI). SI dengan tegas berhaluan politik. Tapi tahun 1920 SI pecah menjadi dua, yaitu SI Merah yang akhirnya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI Putih yang tetap dalam garis Islam serta pada akhirnya menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Sejak masa kolonial telah muncul polemik antara golongan nasionalis dan Islam. Golongan nasionalis yang dipimpin oleh Soekarno, sedangkan golongan Islam dipimpin oleh H.O.S Cokromaminoto. Perdebatan ini terus berlangsung pada panitia persiapan kemerdekaan. Isu utamanya mengenai landasan ideologi yang akan dipakai oleh Indonesia jika negeri ini merdeka. Golongan nasionalis menginginkan dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Golongan Islam menghendaki negeri ini berdasarkan pancasila. Setelah mengalami perdebatan panjang akhirnya dicapai kesepakatan yang disebut dengan piagam Jakarta (Jakarta Charter). Gerak sejarah ternyata tak selalu berjalan linear. Setelah ”gentelemen agreement” yang bersejarah itu, tiba-tiba golongan kristen, khususnya dari Indonesia Timur mengkhawatirkan implikasi pencantuman ”tujuh kata” tersebut.

D. Kiri Islam dan Politik
Kegagalan politisi Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara menciptakan kekecewaan yang mendalam bagi kelompok-kelompok Islam. Hanya tiga tahun setelah kemerdekaan RI diproklamirkan pada tanggal 7 Agustus 1948, kelompok Darul Islam (DI) dibawah pimpinan S.M. Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Sejak saat itulah perlawanan DI/TII terhadap pemerintah RI berkobar di mana-mana, tidak hanya di Jawa Barat, tapi juga Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Aceh walaupun pemerintah akhirnya bisa meredam dalam waktu yang sangat panjang.
Memasuki masa demokrasi Parlementer1950-an perjuangan politik Islam bergeser ke tataran partai. Kelompok-kelompok politik sedikit beruntung, karena demokrasi parlementer memungkinkan partai-partai dengan berbagai latar belakang, termasuk komunis, berdiri dan ikut pemilu. Muncul harapan besar, jika partai Islam menang dalam pemilu demokratis, kehendak menformalisasi syarita Islam bisa diwujudkan secara konstitusional. Pada saat itu, politik Islam sebenarnya diwakili dua kelompok besar yaitu NU mewakili kelompok tradisionalis dan Masyumi dari kelompok modernis.
Dekrit presiden menjadi titik balik (turning point) sejarah demokrasi di Indonesia. Sebab, presiden tak hanya kembali ke UUD 1945, tapi juga membubarkan konstituante. Secara keseluruhan, politik Islam tiarap pada masa demokrasi terpimpin. Akhirnya memang posisi politik Islam betul-betul berada pada titik nadir.
Pada awalnya ada harapan rakyat tinggi terhadap Soeharto akan membawa keadaan politik bangsa menjadi lebih baik. Tapi, sejak awal-awal perjalanannya, watak dasar rezim ini sudah mulai kelihatan. Setelah berhasil menumbangkan kekuatan Komunis dan Demokrasi Terpimpin dengan kekuasaan militer, kekuasaan orde Baru kemudian membangun kekuasaan despotik. Sebagaimana kekuasaan despotik yaitu dengan menanamkan ”indoktrinasi” kepada rakyat tentang bahaya yang mengancam negara. Di satu sisi, ancaman itu datang dari apa yang mereka sebut ”ekstrem kiri” (komunis). Di sisi lain ada bahaya ”ekstrem kanan” (Islam). Kedua kelompok ini menurut Soeharto sama bahayanya.
Indikasi ketidakharmonisan hubungan Islam dan negara tersebut dimulai ketika munculnya kehendak merevitalisasi partai politik Masyumi ditolak pemerintah Orde Baru. Kelihatan sekali bahwa pemerintah sangat khawatir dan sekaligus mencurigai kembalinya Masyumi dalam pentas politik akan menggerogoti rezim yang sedang bekuasa. Walaupun pemerintah kemudian mengizinkan terbentuknya Parmusi, sebagai alternatif, pada dasarnya kebijakan ini tak lebih sebagai kooptasi negara terhadap kekuatan sosial politik Islam. Para pengurusnya telah disterelisasi dari pengaruh Masyumi lama dan tokoh-tokoh Masyumi lama dikebiri. Jauh kemudian gerakan-gerakan yang ada di Indonesia menjelma dalam berbagai bentuk ada yang jadi gerakan-gerakan sosial dan ada yang menjadi gerakan politik. Yang menjadi gerakan politik seperti PKS. Yang menjadi gerakan sosial dan dakwar amar ma’ruf nahi mungkar seperti, MMI, IKMI, Laskar Jihad, HTI dll. Wallahu a’lam bissawab

Jumat, 12 November 2010

Artikel di Ranah Minang

Pudarnya Musyawarah Mufakat
bagi Masyarakat Adat Minang
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen dan Staf P3M STAIN Bukittinggi)

Pada zaman sekarang, banyak lembaga-lembaga yang ada seperti LSM, Ormas, Perguruan Tinggi termasuk pemerintah membuat rencana kerja, program atau kegiatan untuk masyarakat sendiri saja tanpa meminta pendapat dari masyarakat. Akibatnya rencana kerja program atau kegiatan itu tidak didukung oleh masyarakat desa atau nagari tempat dilakukannya program kerja, program atau kegiatan tersebut sehingga jadilah kegiatan itu berjalan seperti air yang mengalir di sungai tanpa ada menimbulkan kesan terhadap batu yang dilaluinya. Tanpa pernah mengajak partisipasi dan peran serta dari masyarakat akan maksud dan tujuan kegiatan tersebut. Ternyata asas musyawarah mufakat ini tidak hanya hilang atau tidak muncul dari masyarakat namun bagi masyarakat adatpun sudah mulai terkikis. Kegiatan bersama yang disebut dengan need assessment (membuat kegiatan dengan melibatkan masyarakat dan berdasarkan tingkat kebutuhan masyarakat) hanyalah semboyan belaka saja.
Mengapa demikian, karena setiap kegiatan proyekkah namanya, kegiatan, program kerja itu ada uangnya. Kalau dulu, tidak ada uang, jadi harus bekerja dengan tenaga dan dukungan masyarakat semua. Kalau mau mengadakan kegiatan harus mengadakan musyawarah dulu untuk sepakat, di mana lokasinya, apakah masyarakat memang membutuhkan, siapa pelaksananya, bagaimana bentuknya, tidak perlu dibeli ini itu cukup swadaya masyarakat saja, kapan goro bersama untuk persiapan kegiatan, pasca kegiatan bagaimana rencana tindak lajut dan sekian banyak tetek bengek ide dan pendapat yang berkembang. Bahkan mereka perlu juga minta nasehat atau petunjuk dari yang tua-tua dulu sebelum melakukan kegiatan semacam do’a restulah baru kegiatan tersebut dilakukan atau dilaksanakan.
Akan tetapi kenangan masa lalu itu hanya nostalgia saja lagi yang hanya kegunaannya untuk disebut-sebut dan dijadikan buah bibir tanpa pernah diaplikasikan. Masyarakat sekarang bahkan sudah tidak peduli terhadap hukum adat mereka. Ada anggapan bahwa membincangkan adat istiadat itu justru sudah kuno, ketinggalan zaman, basi dan kolot. Dari ungkapan di atas, jelas bahwa proses musyawarah untuk tercapainya kesepakatan sebagai wujud demokra-si di kalangan masyarakat sudah memudar, karena pelbagai kegiatan selalu dengan bantuan uang, akibat-nya nilai-nilai luhur kegotongroyongan, musyawarah untuk mufakat, baio batido (istilah minang ) mulai berangsur-angsur hilang dalam kehidupan masyarakat adat. Justru muncul istilah-istilah yang salah ditengah-tengah masyarakat seperti ” bulek kato di mikrofon bulek aia di paralon ”, ”bersatu kita teguh bercerai kita sama lari”, ” Barek sama pikua surang ringan samo dijinjiang” ka bukit samo mandaki ,ka lurah samo mangurus KTP” dan lain-lain.
Para pemimpin masyarakat adat zaman dulu, dalam pengambilan keputusan, senantiasa mendengarkan pendapat masyarakatnya. Tak pernah menyisihkan mereka, karena pelaksanaan suatu rencana kegiatan atau program dengan melibatkan seluruh elemen adalah merupakan wujud demokrasi. Dengan selalu berpegang pada hukum adatnya akan menjadi tonggak kekuatan dalam melakukan kegiatan. Di dalam hukum adat minang misalnya itu terkandung nilai-nilai luhur dari setiap butir-butir yang terdapat dalam peraturan adatnya. Apakah namanya adat istiadat, adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat nan teradat. Adat salingka nagari juga menjadi pedoman bagi masyarakat nagari tersebut. Tentu setiap peraturan adat akan menimbulkan sanksi yang mendorong masyarakat adat untuk selalu berlaku jujur, adil, taat, setia, tulus dan ikhlas terhadap kesepakatan yang telah diambil.
Dalam proses demokrasi di tengah-tengah masyarakat ini memang terasa lemahnya proses musyawarah untuk mufakat dalam kepemimpinan masyarakat adat. Disamping itu juga sudah pudar dan kurangnya kesadaran dan pengetahuan para pemimpin masyarakat adat terhadap adat istiadat yang berlaku. Hilangnya demokrasi adat itu terlihat apakah dalam memilih pemimpin adat, memutuskan perkara adat, dan lain sebaginya Tidak mustahil kemudian terjadi perselisihan antara mamak dengan kemenakan, antara satu datuk dengan datuk lainnya.
Proses pemilihan pemimpin dalam Masyarakat Adat memang miniatu re kecil dalam alam berdemokrasi. Hal ini juga merupakan suatu indikator yang menentukan kuat dan lemahnya suatu masyarakat adat. Jika kepemimpinan masyarakat adat sudah kuat dan proses pemilihan sudah tercermin dari nilai-nilai adat yang ada maka ini akan langgengnya kehidupan masyarakat adat yang bersangkutan dan meningkatkan peranan pemimpin masyarakat adat. Tetapi jika kepemimpinan masyarakat adat telah melemah atau pudar jelask akan menimbulkan hilangnya nilai-nilai adat dan akan masuknya pngaruh luar terhadap masyarakat adat tersebut.
Padahal asas musyawarah mufakat yang bertumbuh kembang di tengah-tengah masyarakat adat tak terkecuali ranah minang tercinta ini kendatipun bersifat sederhana, dapat menjadi suatu potensi yang besar dalam menunjang sistem demokrasi nasional Bangsa Indonesia. Walaupun istilah demokrasi itu sendiri bagi masyarakat adat makna dan hakikatnya sendiri ninik mamak dan pemangku adat tidak mengetahui...***

PTAIN

Menggagas Kerjasama PTAIN dan PEMDA
Oleh: Adlan Sanur TH,M.Ag
Dosen STAIN Bukittinggi


Menarik untuk dicermati apa yang diungkapkan pada Harian Pagi Ekspres no.128 Vol IX hari selasa 11 September 2007 dengan topic “ Daerah Dukung Kemajuan Unand”.Universitas Andalas sebagai Perguruan Tinggi tertua dan ternama di luar Jawa tentu mesti mendapat sokongan dan bantuan dari Pemerintah Daerah. Menurut Rektor Unand ada makna tersirat dalam rapat koordinasi kepala Daerah se-Sumatera Barat pada tanggal 25-27 Agustus di Pustaka Proklamator Bukittinggi, bahwa kepala daerah berjanji akan memberikan bantuan kepada Unand setiap tahun sebesar 500 juta rupiah. Menurut rektor Pemprov, Pemkab,Pemko memang sudah semestinya mendukung peningkatan kualitas dan kuantitas penunjang pendidikan Unand. Hal ini tentu menjadi sumbangan yang sangat besar dan yang bagi Perguruan Tinggi walaupun selama ini memang Unand telah dibantu dalam APBD Sumbar sebanyak 1 milyar rupiah.
Melihat adanya bantuan untuk Perguruan Tinggi seperti seperti Unand yang dikemukakan diatas tadi, setidaknya akan menimbulkan ransangan dan motivasi bagi Perguruan Tinggi lain seperti Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri yang ada di Sumatera Barat (IAIN Imam Bonjol Padang, STAIN Bukittinggi dan STAIN Batusangkar), yang tentunya berharap kalaupun tidak sama minimal mendapat bantuan yang seimbang dari Pemerintah Daerah baik kota/kabupaten termasuk propinsi tempat beradanya perguruan Tinggi tersebut. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan Perguruan Tinggi di daerah merupakan kebanggan sekaligus asset yang tidak bernilai dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan serta untuk ikut serta dalam membantu proses pembangunan nasional.
Perkembangan, Visi dan Misi PTAIN Dewasa Ini
Kalau dilihat fenomena Perguruan Tinggi yang berkembang dewasa ini menunjukkan munculnya semangat serta gairah dari beberapa Perguruan Tinggi Islam Negeri terutama Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk mengembangkan diri menjadi universitas. STAIN Malang yang menjadi Universitas Islam Indonesia Sudan dan kemudian berganti menjadi Universitas Islam Negeri Malang dan IAIN Jakarta yang berubah status menjadi Universitas Islam Jakarta merupakan contoh konkret dari gejala tersebut. Pengembangan semacam ini tampaknya akan diikuti pula oleh beberapa STAIN dan IAIN lain yang tersebar di beberapa daerah tanpa terkecuali STAIN Bukittinggi yang berniat mengembangkan diri menjadi Universitas Islam Negeri Bukittinggi.
Diasumsikan bahwa upaya pengembangan tersebut, salah satunya muncul dari keprihatinan dan sekaligus respon kalangan perguruan tinggi Islam akan seabgreg kelemahan yang menggeluti dunia pendidikan. Selain itu yang sangat penting selain pendidikan merupakan proses pengembangan dan pembangunan Sumber Daya Manusia untuk memberikan kesempatan kepada manusia to have juga to be maka pembangunan kampus secara internal juga perlu dilakukan yaitu pembangunan infra struktur sarana dan prasarana yang ada di dalam kampus tersebut.
Adapun misi Perguruan Tinggi Agama Islam ini adalah menciptakan civitas akademika yang konsisten dalam beramal ilmiyah dan berilmu amaliyah. Menumbuhkan suasana intelektual yang islami dalam rangka mewujudkan ketaqwaan yang mendalam. Menjadikan mahasiswa sebagai pelopor pembangunan spiritual di tengah-tengah masyarakat yang berlandaskan al-Qur'an dan sunnah. Mengantarkan mahasiswa untuk dapat menguasai dan berperan sebagai pengembangan ilmu-ilmu keislaman. Mengembangkan ilmu-ilmu keislaman melalui pengkajian dan penelitian ilmiah. Tujuannya adalah dalam rangka menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan professional yang dapat menerapkan, mengembangkan atau menciptakan ilmu pengetahuan agama Islam, IPTEK dan seni yang bernafaskan Islam, serta mengupayakan penggunaannya untuk taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan Nasional. Kesemuanya itu bisa terlaksana tentunya mesti mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Daerah dalam aksi nyata.
Format Kerjasama PTAIN dan Pemda
Format atau langkah yang mesti ditempuh atau dibangun dalam rangka untuk pencapaian percepatan pembangunan daerah dalam bidang pendidikan agama adalah dengan terlebih dulu membangun visi dan misi yang sama antara PTAIN dengan Pemerintah Daerah. Inilah yang menjadi langkah konkrit pertama seperti di tulis Padang Ekspres sabtu 1 September 2007 dalam tajuk ”Membangun Pariwisata” dari hasil Rakor di Bukittinggi bahwa membangun percepatan Daerah mesti terintegrasi antar stakeholders yang ada. Dan yang juga sangat penting adalah membuang pikirann, dimana tidak saatnya lagi kepala daerah ataupun ketua-ketua DPRD di daerah untuk berpikir ini lembaga vertical dan ini horizontal. Ini telah dapat bantuan dari pusat jadi tidak perlu dibantu lagi. Atau yang bahayanya ada pikiran bahwa lembaga ini bukan merupakan bagian dari kita hanya merupakan lembaga pusat yang ada di daerah.
Setelah adanya pemahaman serta persepsi yang sama tentang betapa pentingnya membangu pondasi agama di atas segalanya baru melangkah pada kesamaan program dalam bidang keagamaan. Tugas Perguruan Tinggi tentunya pada bidang untuk merancang, mengembangkan serta mengadakan research tentang keagamaan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat rohani yang akan menunjang kegiatan lain. Selama ini ada kesan bahwa orang agama hanya jadi tukang do’a dihilangkan dari persepsi kita masing-masing. Hendaknya begitu juga dengan Pemerintah Daerah mesti punya political will bersama Legislatif untuk mendorong bantuan bagi Perguruan Tinggi Agama Islam sebagai gudangnya pencetakan ulama.***

Rabu, 10 November 2010

Artikel Walikota

Walikota yang Anti Korupsi
Oleh: Adlan Sanur Th

Disadari ataupun tidak bahwa korupsi merupakan musuh bersama bagi siapapun yang ada di atas bumi ini. Apalagi di wilayah Indonesia yang indek prestasi kumulatifnya tergolong tinggi dalam bidang korupsi. Bahkan penyakit ini juga menjalar sampai ke daerah-daerah termasuk kota/kabupaten yang ada di Indonesia. Tanpa terkecuali di kota Bukittinggi.
Korupsi dapat dikatakan sebagai tingkah laku mempergunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi serta merugikan kepentingan umum dan kepentingan Negara. Korupsi merupakan tinadakan yang bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara.
Selain itu, pengertian tindak pidana korupsi dijabarkan dalam Undang-undang Nomor. 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada pasal 1 ayat satu dijelaskan bahwa Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan negara atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan negara atau perekonomian negara. Korupsi juga dikatakan dengan barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Memang persoalan korupsi menjadi isu yang sangat hangat pada akhir-akhir ini. Peringatan hari Anti Korupsi juga membawa kepada semangat baru bagi seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama memberantas korupsi. Bahkan Walikota Bukittinggi (Ismet Amzis) sudah menyatakan perang terhadap korupsi. Kalaulah setiap individu yang ada telah berniat untuk tidak korupsi dalam setiap kegiatannya, maka penulis sangat yakin korupsi akan mudah untuk dikikis walaupun untuk dihilangkan sulit sekali. Walaupun ada pendapat yang mengatakan bahwa seseorang korupsi bukan karena kemaunnya namun dikarenakan system yang membentuknya akan tetapi tetap saja kalau sang pelaku tidak punya niat maka akan tidak terjadi.
Beberapa tahun terakhir Kota Bukittinggi disentakkan dengan persoalan korupsi. Namun akhir-akhir ini sudah mulai hilang nyaris tidak terdengar. Oleh karenanya ke depan hendaknya kita butuh terhadap calon kepala daerah baik calon Walikota maupun calon Bupati yang siap untk mengatakan untuk tidak mau korupsi. Janji dan slogan kampanye hendaknya selalu mengikutkan tidak akan korupsi kalau sudah memegang jabatan dan punya keinginan akan menindak tegas setiap bawahannnya yang terlibat korupsi.
Memang mengatakan mudah tetapi melakukannya sulit. Akan tetapi kalau setiap orang sudah berniat tidak akan melakukan dan hal ini dimulai dari atas sampai pada unit yang terkecil bias saja sedikit demi sedikit korupsi akan bias hilang.Semoga.Penulis adalah Dosen STAIN ”Sjech.M.Djamil Djambek” Bukittinggi

Artikel Sosialisasi

Sosialisasi atau Kampanye
Oleh Adlan Sanur Th

Pemakaian istilah sosialisasi yang dipakai oleh penulis di atas, tidak dengan istilah kampanye untuk memberikan makna bahwa kampanye belum dimulai tahapannya oleh KPU. Karena mengenai penjadwalan Pemilu Kada belum jelas sampai saat ini.
Sekaligus belum tentu orang yang bersosialisasi di tengah-tengah masyarakat identik dengan kampanye. Secara kasat mata tampak akhir-akhir ini banyak sekali kegiatan yang dilakukan para tim sukses untuk mengenalkan calon yang akan diusungnya dalam pemilihan kepala daerah 2010 yang akan dilaksanakan.
Sosialiasi tidak hanya terfokus serta penting kepada masyarakat pemilih namun juga kepada pengurus partai politik yang menjadi kenderaan mengusung sang pengantin (baca calon).
Di satu sisi sosialiasi bermaksud untuk mengenakan visi dan misi awal dari sang kandidat. Di sisi lain juga menampung aspirasi serta masukan yang selama ini belum tersalurkan. Jadilah sosialisasi ini menjadi ajang memberi bantuan bahkan memberikan solusi alternatif dari persoalan yang dihadapi masyarakat.
Agak susah memang membedakan antara sosialisasi dan kampanye. Beda-beda tipis. Ibarat dua sisi dari mata uang logam. Tidak terpisahkan antara keduanya. Bisa saja kampanye sekaligus masuk sosialisasi dan sosialisasi tapi maksudnya untuk kampanye kalau nanti jadi diusung oleh partai politik atau melalui calon independen.
Apalagi bagi calon incumbent. Maksud hati hanya melaksanakan tugas rutin sebagai kepala daerah namun dipahami masyarakat untuk mempromosikan diri. Jadi terpaksa mesti berpandai-pandai membawakan.
Walaupun semua itu tergantung niat. Sebab menurut Hadis Rasululullah bahwa setiap amal seseorang dilihat dari niatnya. Tulus semata-mata tanpa pamrih. Atau ada udang dibalik bakwan. Dengan maksud sekali merangkuh dayung dua pulau terlampaui. Supaya tetap punya kepribadian yang baik dimata rakyat atau masyarakat.
Jika memang bermaksud untuk promosi diri sekaligus, maka tidak salah kemudian didapati banyak para calon kandidat walikota dan bupati yang mencari-cari massa yang sedang berkumpul. Kasak kusuk tanya sana sini ada tidak acara yang bisa dihadiri.
Para masyarakat juga semakin cerdas mumpung mau pemilihan kepala daerah dimanfaatkan saja dengan cara membuat kegiatan yang mengundang para calon-calon kepala daerah. Bagi masyarakat lain juga dianggap ini acara panenan sekali lima tahun sehingga ada yang jadi makelar acara. Bikin proposal buat acara yang ramai dan datangkan calon kepala daerah.
Apa mau sosialiasi atau kampanye bodoh amat. Visi dan misinya bagaimana tidak mau tahu. Yang penting ada sedikit untuk konsumsi tambah trasportasi serta beli pulsa udah cukup. Pandangan ini muncul bagi makelar acara.
Ironis memang, masyarakat hanya jadi objek permainan. Habis pemilihan selesai semua janji serta solusi dari permasalahan yang dihadapi masyarakat hilang ditelan bumi. Sosialiasi hangat-hangat dilakukan tak lebih tak kurang hanya menjelang pemilihan dilakukan. Habis manis sepah dibuang.
Calon kepala daerah juga berkelit bahwa semua yang dilakukannya juga mesti punya modal. Tidak ada yang gratis. Tidak ada makan siang yang gratis. Wajar kemudian ketika pemilihan sudah selesai Ia juga kembali mengumpulkan modal untuk pemilihan yang akan datang. Semoga saja pandangan penulis ini tidak begitu yang terjadi. Sosialisasi memang betul-betul untuk membantu masyarakat. Kampanye nanti sesudah ada tahapannya (baca jadwal)*** Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Semangat Muda

Saatnya Semangat Muda
Oleh Adlan Sanur Th
Persoalan pemuda pada saat ini memang sangat multi kompleks. Dimulai dari tingkat histories dan empiris, bahkan pada persoalan idealisme yang bercorak normatif Gagasan yang bercorak idealis dan normative itu selamanya berada pada ‘arsnya sendiri begitu realitas yang terjadi pada tingkat empiris dan historiespun berada pada arusnya pula. Memang tidak kelihatan keselarasan dan sinkronisasi antara kedua arah tersebut. Kendatipun semestinya kedua arus itu merupakan salah satu rangkaian bak ujung dengan pangkal. Apa yang terjadi pada tingkat histories dan empiris semestinya merupakan transformasi, pengejewantahan dan kongkrisasi dari semua gagasan pada arus idealis dan normatif. Sebaliknya gagasan pada arus tersebut merupkan basic of value.
Oleh karenanya sejarah panjang dari pemuda tersebut maka tertompang harapan kepada berbagai pihak untuk melakukan kegiatan yang akan membawa idealisme pemuda untuk bangkit. Banyak sekali kegiatan memberdayakan dan meningkatkan partisipasi generasi muda untuk ikut mendukung upaya pemulihan dan kebangkitan perekonomian, pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran dan penyalahgunaan narkoba telah dilakukan. Meningkatkan kualitas, produktivitas, kompetensi, profesionalisme dan daya saing tenaga kerja dan profesi dibidang Kepemudaan. Strategi pemberdayaan generasi muda/ pemuda dengan mengembangkan kerjasama dan sinergi yang kompak dan harmonis.
Juga hal yang sangat penting menciptakan iklim dan komunikasi yang sehat, kondusif dan efektif bagi tersalurnya aspirasi, apresiasi, partisipasi dan kepentingan generasi muda. Bahkan pemerintah juga diharapkan memfasilitasi dan mengakomodasi program serta kegiatan pemberdayaan generasi muda daerah dengan penyediaan, pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana serta penda-yagunaan berbagai fasilitas kepemudaan yang ada. Adanya mengefisienkan dan mengefektifkan seluruh mekanisme, lembaga, system dan jalur yang terlibat atau terkait dengan pemberdayaan generasi muda di daerah melalui restrukturisasi, reposisi dan revitalisasi lembaga yang menangani kepemudaan dengan berorientasi pada pelayanan yang prima dan bermutu serta berpijak kepada kepentingan dan jaminan masa depan generasi muda.
Harapan tersebut di atas tentu saja hendaknya diperhatikan oleh calon kepala daerah yang akan ikut bertarung pada tahun 2010. Siapapun yang terpilih memang sudah saatnya yang muda untuk memimpin. Pengertian muda yang penulis maksud bukanlah dari segi fisik atau batasan usia. Namun dari segi semangat untuk mengangkat harkat dan martabat generasi muda. Walaupun ada batasan bahwa usia pemuda itu maksimal 4o tahun, hal tersebut mungkin untuk dijadikan standar atau persyaratan bagi yang ingin duduk di lembaga-lembaga kepemudaan.
Pemilihan kepala daerah secara langsung di kota/kbupaten yang ada di Sumatera Barat termasuk kota Bukittinggi telah membuka kran bagi para kandidat kepala daerah untuk menarik simpati bagi generasi muda (baca remaja). Tentu saja para pemilih pemula/pemuda akan menentukan calonnya bagi yang punya semangat muda. Semoga saja aspirasi dari kelompok anak-anak muda bangsa ini tidak diabaikan oleh para calon kepala daerah nantinya. ***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Tim Sukses

Ketika PNS jadi Tim Sukses
Oleh: Adlan Sanur Th


Menjadi PNS pada saat ini, tetap menjadi idaman dan idola bagi sebahagian masyarakat Indonesia. Tidaklah mengherankan kemudian ribuan calon pencari kerja berjubel dan antrian untuk menunggu pengumuman penerimaan CPNS serta beramai-ramai untuk mendaftar serta mengikuti tes CPNS yang dibuka oleh instansi-instansi pemerintah.
Pandangan selama ini yang tertanam ditengah-tengah masyarakat bahwa dengan menjadi PNS masa depan akan terjamin. Gaji bulanan tetap jalan walaupun rajin ataupun malas. Gaji tetap saja sama. Bagi yang punya prestasi kerja serta dianggap professional ada yang mendapat jabatan atau promosi dalam berbagai bidang tertentu walaupun juga ada yang punya komitmen tinggi serta ethos kerja namun tidak pernah mendapat kesempatan untuk menunjukkan kinerjanya.
Bagi PNS yang sudah punya jabatan yang tinggi tentu saja sebahagian ingin mempertahankan jabatannya. Karena sebahagian orang bahwa kekuasaan itu adalah opium ( baca candu) dan cendrung untuk mempertahankannya. Hal ini yang kemudian mengakibatkan seseorang untuk ikut melihat peluang bagi kandidat yang akan dianggap menang dan akan menjadi pimpinan di atasnya (baca atasan) untuk bersama-sama menyuseskannya.
Katakanlah seseorang yang berniat akan menjadi walikota/bupati/gubernur atau pimpinan lainnya juga memanfaatkan PNS atau dijadikan untuk menjadi anggota tim suksesnya dengan harapan akan meraup keuntungan dari bawahannya. Diakui ataupun tidak sejarah birokrasi di Indonesia menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek politik dari kekuatan partai politik (parpol) dan aktor politik.
Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya yang strategis dalam menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik.
Saat-saat menjelang pilkada, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif karena partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung amat efektif.
Walaupun Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara mengatur secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur, (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan;
Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan ini jelas melarang keberpihakan PNS dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Namun keberpihakan PNS dalam pemilu seperti pilkada dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan mereka yang haus akan jabatan . Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu. Apalagi pilkada sudah semakin dekat para PNS sudah mulai banyak yang jadi pemain dan bermain (baca tim sukses). Semoga hal ini tidak terjadi di kota Bukittinggi.***. Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel PNS dan Pemilukada

PNS dan Pemilihan Kepala Daerah
Oleh Adlan Sanur Th

Pegawai Negeri Sipil (PNS) mempunyai posisi dan kontribusi yang sangat yang tida sedikit dalam birokrasi di Indonesia. Sebagai pengabdi dan pelayan masyarakat diharapkan PNS menjalankan fungsinya dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara.
Disadari ataupun tidak oleh PNS, kritikan sekaligus cibiran selalu saja dilontarkan oleh masyarakat terhadap kinerja dan ethos kerja yang rendah yang dilakukan. Namun bukan berarti semua PNS demikian. Masih banyak PNS yang betul-betul mengabdikan dirinya untuk bangsa dengan cara bekerja secara ulet dan sungguh-sungguh tanpa pamrih.
Sebagai salah satu faktor kekuatan negara, peran dan fungsi PNS amat potensial dalam pemilihan kepala daerah. Selain harus netral dari kepentingan calon kepala daerah baik walikota maupun bupati, partisipasi PNS dapat diwujudkan dalam beberapa kegiatan demi suksesnya pemilihan.
Kegiatan itu bisa berupa peran aktif menjadi pemilih dan memberikan sosialisasi kepada keluarga serta lingkungannya tentang pemilihan kepala daerah. Keaktifan PNS dibutuhkan untuk memberi keyakinan tentang arti pentingnya pemilihan kepala daerah kepada masyarakat sehingga dapat mengurangi jumlah golput. Apalagi kedudukan PNS sebagai pamong praja akan menjadi panutan masyarakat sekitarnya.
Juga PNS melakukan kegiatan dengan cara menjadi juru kampanye pemerintah yang menyampaikan kepada masyarakat tentang kebijakan KPU dan aneka kebijakan negara dalam meningkatkan pengetahuan dan membangun partisipasi aktif masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Asal saja peran ini tidak disalahartikan dan mau dimanfaatkan oleh calon-calon kepala daerah yang sedang menjabat.
Peran lainnya adalah dengan tidak menjadi partisan parpol/calon kepala daerah dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan penyelenggaraan pemerintahan serta bertindak profesional dalam menjalankan tugas. Poin ini juga sangat penting karena banyak juga calon yang memanfaatkan PNS.
Kekuatan yang sangat diharapkan dari PNS adalah partisipasi aktif guna mendukung kesekretariatan KPU dan KPUD untuk melaksanakan berbagai tahapan pemilihan kepala daerah. Sebagai supporting staff KPU dan KPUD, profesionalisme PNS akan amat menentukan keberhasilan tiap tahapan, mulai dari sosialisasi, pendistribusian surat suara dan kotak suara, sampai penetapan pemenang.
Demikian pula keterlibatan aktif PNS menjadi PPK, PPS, dan KPPS dimungkinkan dalam Pasal 41 UU No 10/2008, mengingat keterbatasan penduduk yang memiliki kualifikasi untuk dapat menjadi anggota panitia pemilihan kepala daerah. Karena itu, netralitas dan profesionalisme PNS, terutama saat menjadi anggota panitia pemilihan kepala daerah, akan amat menentukan keberhasilan pemilihan kepala daerah tersebut.
Setidaknya keberhasilan PNS dalam menyukseskan pemilihan kepala daerah akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap netralitas PNS. Sekaligus juga momentum bagi PNS untuk memperbaiki citra profesionalisme serta mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Untuk jangka panjang, kepercayaan masyarakat akan meningkatkan pula terhadap kepercayaan terhadap pemerintah dan Negara. Semoga*** Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Moral

Himbauan Moral
Adlan Sanur


Salah satu masyarakat adat yang masih tetap berpegang teguh dengan tata aturan atau moral adalah masyarakat Minangkabau. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Minangkabau sebelum datangnya agama Islam sudah hidup dengan aturan adat aslinya, kemudian masuk agama Islam membawa ajaran-ajaran tentang ibadah dan muamalah. Maka hiduplah dua ajaran kehidupan di dalam masyarakat Minangkabau. Menurut ahli Antropolgi pertemuan dua kebudayaan (Minangkabau dengan ajaran Islam) akan melahirkan dua kemungkinan.
Pertama akulturasi yakni dua budaya yang bertemu itu hidup berdampingan secara damai. Kedua asimilasi yakni dua kebudayaan saling meleburkan diri sehingga melahirkan suatu budaya baru. Sebagaimana diketahui bahwa unsur adat Minangkabau itu terdiri dari unsur asli sebagai bagian terbesar dan masuk unsur agama sebagian kecilnya.
Keberadaan agama Islam di Minangkabau mampu mempengaruhi budaya asli Minangkabau tersebut. Bahkan, hukum Islam sudah dijadikan sebagai alat untuk mengukur kebenaran adat mereka yang dikenal dengan falsafah. Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Maksudnya adalah Adat istiadat di Minangkabau didasarkan pada hukum-hukum Islam sedangkan hukum-hukum Islam berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadist-Hadist Nabi Muhammad SAW. Justru di sinilah kehebatan dari alam Minangkabau yang mampu memdukan antara nilai-nilai agama dan adat.
Masuknya unsur-unsur agama, semakin memperkuat berlakunya hukum adat sebab, menurut Amir Syarifuddin, pertama, hukum agama akan memelihara dan mengukuhkan nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai arti positif; kedua, menghilangkan dan mengikis nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai arti negative, ketiga; menimbulkan nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai arti positif yang belum ada. Pada sisi ini tentu saja nilai-nilai adat dan agama masing-masingnya punya sanksi yang mesti dijalankan. Sebelum sanksi tersebut dilaksanakan mesti ada sosialisasi atau pengetahuan masyarakat adat setempat. Pengetahuan akan nilai-nilai adat dan agama bisa saja disampaikan melalui pesan moral atau himabau moral kepada yang membacanya.
Himbauan moral merupakan yang merupakan pesan-pesan yang disampaikan dalam bentuk seruan dan ajakan. Di saatnya tercerabutnya nilai-nilai adat dan nilai-nilai Islam maka himbauan moral merupakan alat yang sangat strategis untuk mengingatkan masyarakat kembali akan pesan-pesan agama. Apa yang digagas Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) bekerjasama dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN) kota Bukittinggi melakukan himbauan moral melalui bilboard adalah suatu terobosan yang jitu.
Kota Bukittinggi yang selalu ramai dikunjungi termasuk generasi muda atau muda-mudi perlu diingatkan akan batasan-batasan pergaulan yang mesti dijaga. Banyaknya pergaulan bebas serta tatanan budaya luhur Minangkabau yang tidak lagi dipahami generasi muda saat ini memerlukan sosialisasi dan penanaman nilai-nilai tersebut.
Seruan untuk menjaga pergaulan, tidak melakukan perbuatan maksiat, dilarang duduk berdua-duaan di tempat sunyi, jangan melakukan zina perlu untuk selalu dihimbaukan kepada generasi muda kita. Padahal kalau kita mau dan ingin membentengi generasi muda dari ancaman globalisasi dan modernisasi, dari tayangan di atas sudah nampak jelas bagaimana pertautan antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai adat Minangkabau. Himbauan ini tentu tidaklah cukup kalau tidak diaplikasikan namun setidaknya dimulailah dari hal ini. Sehingga nilai-nilai adat yang selama ini dipegang serta nilai-nilai agama selalu dijaga dan dipertahankan oleh masyarakat kita. Kota Bukittinggi sah-sah saja disebut kota maju, modern, pariwisata dan lainnya namun-namun nilai-nilai data dan agama sedikitpun tidak terimbas oleh kondisi tersebut. ***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Pendidikan Politik

PENDIDIKAN POLITIK
Adlan Sanur Th


Ada pandangan yang selama ini keliru di tengah-tengah masyarakat awam bahwa setiap yang berkaitan dengan politik semuanya berbau kotor bahkan menjijikkan. Bahkan dengan politik kawan menjadi lawan dan lawan menjadi kawan.
Oleh karenanya masyarakat memang sangat perlu diberikan pemahaman sekaligus pencerahan tentang pendidikan politik atau sosialisasi politik. Karena bagaimanapun semua masyarakat, secara langsung maupun secara tidak langsung mengalami apa yang disebut sebagai proses sosialisasi politik.
Melalui proses sosialisasi politik ini, anggota masyarakat mengenal, memahami dan menghayati nilai-nilai politik tertentu, yang oleh karena itu mempengaruhi sikap dan tingkah laku politik mereka sehari-hari.
Sosialisasi politik dapat dianggap sebagai pendidikan politik dalam arti kata longgar. Jadi pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat, sehingga meeka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang tekandung dalam suatu system politik ideal yang hendak dibangun.
Materi yang diberikan dalam sosialisasi politik dan pendidikan politik ini adalah nilai- nilai aktual atau nilai- nilai yang berlaku dalam masyarakat, dengan kata lain sosialisasi politik dan pendidikan politik akan menunjukan nantinya pada suatu proses dimana sikap- sikap politik dan pola tingkah laku politik diperoleh dan dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi generasi untuk menyampaikan patokan– patokan politik dan keyakinan- keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
Sebagian dari nilai –nilai aktual tersebut adalah tentang political engagement dan partisipasi politik. Dalam upaya melaksankan pendidikan politik ini, dapat ditempuh dengan dua pendekatan pokok yaitu, (1) Pendekatan pembinaan, dimana dalam pendekatan pembinaan ini, pendidikan politik di prakarsai oleh pemerintah, akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakt (LSM) (2) Pendekatan pengembangan, dalam pendekatan pengembangan, pendidikan politik diprakarsai oleh jajaran generasi muda sendiri sebagai subjek
Suatu proses sosialisasi politik dan pendidikan politik dapat berbentuk transmisi atau pengajaran yang bersifat manifest (nyata) dan laten (tidak nyata). sosialisasi politik yang berbentuk transmisi nyatamerupakan sustu proses yang mana, nilai yang ditransmisikan kepada seseorang berwujud informasi, sikap, pandangan,serta keyakinan mengenai politik secara eksplisit, sedangkan transmisi atau pengajaran langsung tidak lain adalah suatu proses dimana seseorang atau individu untuk pertamakalinya memperoleh nilai- nilai yang bersifat non politisdan pada giliranya nilai- nilai yang diperoleh tadi akan mempengaruhi pandangan, sikap,serta keyakinan dibidang politik.
Dengan adanya pendidikan politik setidaknya ada beberapa hal poin yang ingin dicapai pertama: melakukan pendidikan tentang hak-hak politik rakyat, hal ini sangat penting karena masih banyak masyarakat yang belum memahami hak-hak politiknya sebagai warga Negara. Kedua: rendahnya partisipasi masyarakat mengikuti proses pemilu 2009, seakan-akan membuktikan bahwa politik adalah sesuatu yang jauh yang hanya bisa dinikmati kaum elit, rakyat masih belum menyadari bahwa problem kehidupan mereka selalu berkaitan dengan keputusan politik.
Ketiga: wahana mendekatkan rakyat dengan persoalan-persoalan politik sehingga tumbuh kesadaran pertisipasi masyarakat terhadap proses politik yang berjalan.
Pemilihan Kepala Daerah sudah semakin dekat namun pertanyaannya adalah apakah kandidat-kandidat yang maju untuk calon kepala daerah ini sudah melakukan pendidikan politik yang benar terhadap masyarakat yang akan memilihnya. Jangan-jangan ajang pemilihan kepala Daerah ini hanyalah sebagai pesta lima tahunan yang masyarakat sendiri tidak mengerti akan hak dan kewajiban politiknya termasuk di kota Bukittinggi sendiri. Semoga saja tidak.***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Pemimpin Bijaksana

Pemimpin yang Bijaksana
Oleh: Adlan Sanur Th
Mengangkat pemimpin dalam Islam merupakan wajib syar’i. Hal ini terlihat dari terdapatnya perintah al-Qur’an dan al-Hadis untuk patuh terhadap pemimpin dan kewajiban mengangkat pemimpin dalam setiap situasi dan kondisi apapun. Bahkan lebih jauh, Islam juga telah meletakkan pondasi terhadap mekanisme atau proses pemilihan pemimpin. Ini terlihat dari kepemimpinan pasca nabi (baca sahabat), dengan adanya model pemilihan langsung, sistem formateur, penunjukan dan wasiat. Kriteria dan persyaratan menjadi pemimpin juga telah dirumuskan oleh para pemikir Islam dengan melihat dari al-Qur’an dan al-Hadis. Pemimpin yang akan diangkat jadi pemimpin tersebut mesti taat kepada Allah, beriman, jujur, amanah, adil, berilmu pengetahuan, tidak bodoh termasuk juga bijaksana serta persyaratan lainnya seperti sehat jasmani dan rohani.
Setelah terpilihnya seorang pemimpin dengan berbagai sebutan yang dipakaikan kepadanya tergantung dalam bidang dan profesi masing-masing yang akan dilakukan seperti presiden, amir, imam, direktur, ketua, manager, rektor, bupati, walikota, gubernur dan lain sebagainya, maka sudah tentu ia juga akan mengangkat bagian-bagian lain seperti wakil, pembantu, menteri, asisten, sekretaris dan lain bidang lain. Semua yang diminta tolongkan untuk membantunya tentu mesti siap untuk satu visi dan misi dalam menyukseskan kepemimpinannya. Siap sebagai satu tim yang solid yang tidak ada niat sedikitpun untuk mengdongkek dari belakang.
Seorang menteri sebagai pembantu presiden mesti dalam menjalankan tugas dan fungsinya tetap berkoordinasi dengan presiden sebagai atasan di atasnya bahkan hal ini juga sampai pada level terendah seperti ketua RT/RW. Apalagi seorang pembantu namanya seperti pembantu ketua atau pembantu rektor dalam perguruan tinggi. Dimana namanya saja pembantu yang dalam bahasa sehari-hari dipanggil jongos/khadim sudah tentu tugas dan fungsinya mesti tetap di bawah kendali sang ketua dan mesti merasa bahwa wewenang dan kebijakannya tetap ada pada ketua. Inilah salah satu bedanya dengan wakil yang wewenang dan kebijakannya agak sedikit lebih banyak dari pembantu. Wakil ketua punya kewenanngan untuk mengambil kebijakan dalam bidangnya masing-masing.
Memang menjadi pemimpin sangat dibutuhkan kearifan dan kebijaksanaan. Menjadi orang yang bijak dalam menarik kesimpulan serta dalam membuat program kerja merupakan pekerjaan yang tersulit dalam kepemimpinan. Apalagi memimpin masyarakat dalam jumlah yang banyak seperti jadi presiden, gubernur dan pemimpin publik lainnya. Rambut sama hitamnya namun isi kepala berbeda-beda dalam artian masing-masing orang punya pendapat berbeda satu sama lain. Sementara kepala pemimpin hanya satu untuk menyatukan dengan kepala yang akan dipimpinnya. Pemimpin mesti berpandai-pandai. Bahkan yang lebih pahitnya, dimana saatnya pemimpin mesti marah dan tegas, maka pada saat tersebut ia mesti marah dan tegas. Bila tidak perlu marah maka ia mesti tidak marah pula.
Ada saatnya mesti ia jujur kepada orang lain atau masyarakat yang dipimpinnya dan mengatakan apa adanya terhadap situasi dan kondisi. Seperti yang dilakukan presiden SBY baru-baru tentang kondisi bangsa kita. Walaupun apa yang beliau sampaikan pahit sama sekali tetapi itulah kenyataan yang ada. Namun bukan berarti pemimpin mesti menyampaikan semua tetap saja ada bilik ketek dan bilik gadang. Tapi jangan sekali-kali pemimpin mengadakan dari bilik ketek adapula bilik ketek sesudahnya. Ini akan mengakibatkan akan ketidak harmonisan di antara bawahannya.
Semoga setiap individu manusia yang ada di muka bumi ini merasa bahwa dirinya juga pemimpin minimal pemimpin terhadap dirinya sendiri. Setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya. Sudah saatnya kita menginginkan pemimpin yang bijaksana yang mampu tahu dengan situasi dan kondisi yang dipimpinnya. Kalau di sigi ke kota Bukittinggi maka pertanyaanya yang muncul sudahkah pemeimpin-pemin yang ada di kota Bukittinggi berada pada kepemimpinan yang bijaksana. Semoga.***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Pemimpin Tua Vs Muda

Pemimpin Tua Pemimpin Muda
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag*

Salah satu krisis yang melanda bangsa ini adalah masalah krisis kepemimpinan. Tidak bisa ditepis masalah kepemimpinan merupakan bagian yang saling berhubungan dengan masalah lainnya yang muncul di negara ini. Kepemimpinan terkait dengan kebijakan, program kerja serta skil individu untuk mengatasi masalah. Pasca era reformasi dimana adanya keterbukaan dalam memegang jabatan sekaligus memberi peluang untuk kaum muda menapaki atau memegang jabatan-jabatan strategis baik di lembaga-lembaga pemerintah maupun non pemerintah seolah-olah adanya kesempatan untuk memimpin.
Pemimpin tua memang sangat dibutuhkan dengan pengalaman kerja bertahun-tahun yang sudah banyak makan asam garam. Walaupun tidak ada ukuran yang pas apa yang dikatakan dengan usia tua dan usia muda. Beberapa persyaratan yang diberikan terhadap usia muda untuk memegang jabatan OKP seperti maksimal berusia 40 tahun tidaklah menjadi standar yang baku. Mungkin filsofi batasan usia 40 tahun ini mengacu pada batasan Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul serta alasan kesehatan dan kematangan. Di Negeri Jiran tetangga Malaysia yang tergabung dalam Majelis Belia (pemuda) Malaysia itu kadang-kadang sudah datuk gelarnya namun punya semangat muda itu masih dikatakan pemuda (belia). Akhir-akhir ini memang sudah ada akta belia yang membatasi usia hanya sampai 40 tahun namun itu perlu sosialisasi lagi.
Di Negeri kita yang tercinta ini memang rasanya sudah perlu yang muda untuk di beri kesempatan memimpin. Sudahlah, rasanya yang tua memimpin, yang tua cukup menjadi sesepuh seperti seorang dukun yang menunggu orang berobat dan tempat bertanya. Cukup dengan memberikan resep dan petuah bagaimana bagusnya lagi. Cukup jadi pemain di balik layar saja atau penasehat.
Tetapi yang perlu untuk di catat bahwa yang muda juga mesti mempersiapkan dirinya kalau di beri kesempatan untuk memimpin. Calon pemimpin muda sejak dini sudah membekali dirinya dengan pelatihan-pelatihan baik formal maupun non formal dan persiapan mental untuk siap menjadi pemimpin yang sebenarnya. Bangsa ini memang sedang membutuhkan pemimpin-pemimpin muda yang enerjik dan punya komitmen keagamaan untuk melakukan manuver-manuver dalam mengatasi keterpurukan bangsa ini.
Di saat adanya pemilihan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemilihan Wali Nagari (Pilwana), Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan pemilihan lainnya, memang sudah saatnya yang muda untuk di beri kesempatan. Batasan usia memang diperlukan dalam persyaratan diangkat menjadi pemimpin selain persyaratan lainnya tapi jangan ada maksud lain dengan memberikan persyaratan tertentu untuk membatasi yang muda. Tulisan ini bukanlah tendensius terhadap pemimpin tua tapi dalam rangka perbaikan bangsa ini serta pemberian kesempatan kepada yang muda untuk memimpin. Cacatan kecil yang tidak bisa ditinggalkan adalah pemimpin muda yang punya visi dan misi serta komitmen.***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Pemberdayaan

Pemberdayaan Komunitas dan Bukittinggi
Adlan Sanur Th

Pada saat ini pemberdayaan masyarakat dari segala lini sedang maraknya digalakkan oleh pemerintah termasuk pemberdayaan komunitas atau warga masyarakat. Hal ini tidak tertutup kemungkinan juga telah dilakukan oleh Pemerintah kota Bukittinggi. Pemberdayaan komunitas dipahami adalah proses membangun kembali struktur komunitas insani dimana cara-cara baru untuk berhubungan antar pribadi, mengorganisasikan kehidupan sosial, ekonomi dan memenuhi kebutuhan insani menjadi lebih dimungkinkan.
Tentu saja mesti dipahami komunitas yang diberdayakan tidak dipandang sebagai komunitas yang menjadi obyek pasif penerima pelayanan, melainkan sebuah komunitas yang memiliki beragam potensi dan kemampuan yang dapat diberdayakan. Kegiatan pemberdayaan komunitas dalam hal ini warga kota Bukittinggi dapat dilakukan melalui pendampingan dengan memberikan motivasi, meningkatkan kesadaran, membina aspek pengetahuan dan sikap meningkatkan kemampuan, memobilisasi sumber produktif dan mengembangkan jaringan.
Konsep pemberdayaan ini menjadi penting karena dapat memberikan perspektif positif terhadap orang yang lemah dan miskin. Komunitas miskin tidak dipandang sebagai komunitas yang serba rentan dan kekurangan (kurang pendapatan, kurang sehat, kurang pendidikan, kurang makan, kurang dinamis dan lain-lain) dan hanya menjadi obyek pasif penerima pelayanan, melainkan sebuah komunitas yang memiliki beragam potensi dan kemampuan yang dapat diberdayakan untuk a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan untuk melanjutkan sistem mata penghidupannya, dan b) ikut berpatisipasi dalam proses pembangunan, kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Kelompok dampingan sebagai salah satu lembaga otonom yang dinisiasi dan ditumbuhkan hendaknya memiliki core activity pada kegiatan program pemberdayaan masyarakat melalui strategi pendampingan berbasis kelompok (based on community) di berbagai wilayah tempat dan lokasi yang ada di kota Bukittinggi. Sehinggga mesti ada kajian yang mendasar bagi kelompok dampingan untuk merencanakan dan menyusun program pemberdayaan sesuai masalah dan kebutuhan dari komunitas sasaran (targetgroup). Implementasi program yang dilakukan meliputi 3 fase yaitu 1) tahap penumbuhan dan pembentukan kelompok, 2) tahap penguatan dan 3) tahap pelepasan program. Hal ini mungkin saja telah dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ada di kota Bukittinggi.
Bantuan yang diberikan oleh pemerintah kota Bukittinggi bagi masyarakat kota Bukittinggi sedikit banyaknya telah dirasakan oleh masyarakat. Program pemberdayaan telah dilakukan dalam rangka pengentasan kemiskinan serta menaikkan taraf perekonomian telah diusahakan secara maksimal oleh pemerintah. Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah program pemberdayaan yang dilakukan telah menyentuh kepada komunitas masyarakat dan tepat sasaran? Jangan-jangan kegiatan pemberdayaan yang dilakukan hanyalah sebagai pelepas utang dan sebagai bahan laporan pertanggunngjawaban ketika adanya evaluasi program kerja.
Kalau begitu kejadiannya alangkah tercelanya dari gagasan awal kegiatan pemberdayaan yang dilakukan untuk mensejahterakan rakyat ternyata hanyalah ajang untuk menghamburkan dana semata. Sementara di berbagai tempat dan sudut kota Bukittinggi masih banyak masyarakat yang menjerit ditempat penderitaan serta mengharapkan uluran bantuan. Semoga tidak.***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Paradigma 2

Paradigma Pembelajaran
Oleh: Adlan Sanur Th*

Secara alamiah orang tak akan pernah berhenti untuk belajar. Dimana memang pendidikan sangat dipentingkan bagi siapapun. Banyak hal yang mendorong seseorang untuk selalu belajar, termasuk didorong oleh hasrat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Coba dan salah, emosi menyertai pengalaman, akal merenungkan dan kadang sampai pada kesimpulan adalah merupakan proses belajar seseorang. Memang tidak semua orang mau belajar dari pengalamannya. Hanya orang yang mampu menstrukturkan pengalamannyalah kemudian orang yang bisa belajar dari pengalaman. Apalagi merubah paradigma yang sudah tertanam selama ini. Dengan dalih sudah berpengalaman, senior dan matang dalam proses pembelajaran menambah deretan alasan untuk mau mengadakan perubahan pola pembelajaran. Seorang Guru susah sekali untuk mau pindah dan menguji metoda dalam belajar.
Pada awalnya, pengetahuan tentang pendidikan (belajar) banyak diambil dari studi-studi yang dilakukan terhadap anak-anak dan hewan dalam belajar. Dari sini lahirlah istilah “paedagogi” yang berasal dari kata dalam bahasa Yunani “paid” yang berarti anak-anak, dan “agogos” yang berarti memimpin. Dengan demikian, paedagogi secara khusus diartikan sebagai seni mengajar anak-anak. Namun pada perkembangannya, istilah paedagogi sering diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar/mendidik secara umum.
Sedangkan subyek pendidikan yang dihadapi bagi yang mengajar orang dewasa yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak dalam belajar, maka metode belajar yang diterapkan pada orang dewasa hendaknya membantu mereka untuk belajar. Pendekatan ini kemudian disebut dengan “andragogi” yang berasal dari kata “andra” yang berarti orang dewasa. Istilah tersebut pertama kali dicetuskan oleh Alexander Kapp pada tahun 1883 untuk menjelaskan teori pendidikan dari Plato.
Apabila diadakan studi komparatif antara dua pendekatan tersebut memang terlihat perbedaan mendasar akan metoda belajar antara andragogi dan paedagogi. Dalam Paedagogi, inisiatif, persiapan dan pelaksanaan proses berpusat pada guru. Sedangkan murid terkesan pasif, menerima petunjuk, melaksanakan aturan dan memelihara nilai-nilai dan kebudayaan serta pemikiran suapan. Dalam andragogi, inisiatif mulai dari guru, tetapi persiapan dan pelaksanaan proses berpusat pada kebutuhan murid. Guru ikut serta menjadi warga belajar dan memfasilitasi warga belajar. Murid terkesan aktif, mencari, bahkan mengubah kesadarannya sebagai manusia yang bermartabat dan punya hak menentukan masa depannya. Oleh karena itu metode ini dianggap sebagai metode penyadaran, metode emansipatori (pembebasan).
Dalam perkembangannya, muncul berbagai kritik mengenai andragogi sebagai sebuah teori belajar. Kritikan yang muncul sering bermuara pada keraguan apakah andragogi hanya untuk orang dewasa, ataukah untuk manusia secara umum. Munculnya kritik-kritik tersebut pada akhirnya mengarahkan para pemikir masalah pendidikan untuk tidak mempertentangkan antara andragogi dengan paedagogi. Sebagian ahli mencoba menggolongkannya sebagai teori belajar partisipatif dan teori belajar non-partisipatif. Ada juga yang mencoba mengklasifikasikan masalah tersebut dan pendidikan yang berpusat peserta dan pendidikan yang berpusat pada isi (materi belajar). Ada lagi yang mengklassifikasikannya dengan pembelajaran aktif (active learning) dan pembelajaran pasif (passive learning).
Walaupun penulis yakin bahwa dua pendekatan tadi sudah lama sekali dikenal oleh para guru yang ada di Bukittinggi baik melalui pengalaman tenaga pendidik yang digunakan waktu belajar maupun melalui pelatihan. Hal ini terlihat dari hasil prestasi yang dicapai kota Bukittinggi sebagai kota pendidikan yang mendapat nomor wahid di Sumatera Barat. Walaupun metode/ pendekatan dalam belajar banyak sekali namun bila dua pendekatan tadi belum dipraktekkan bahkan tidak dikenal bagi guru di kota Bukittinggi alangkah mirisnya hati kita melihat hal tersebut. Tentu ini tugas bagi yang berkaitan dengan persoalan pendidikan di kota Bukittinggi untuk lebih banyak memberikan bekal dan kesempatan kepada guru yang ada di kota Bukittinggi untuk mendapatkan banyak hal yang berkaitan dengan Proses Belajar Mengajar (PBM).***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Ormas Islam

Ormas Islam dan Pemilihan Kepala Daerah
Oleh Adlan Sanur Th
Pemilihan kepala daerah sudah semakin dekat. Tabuh genderang persaingan menujuk puncak kekuasaan sudah dimulai. Berbagai kegiatan berbau ke-Islaman mulai digelar dalam rangka menarik simpatik masyarakat sudah mulai diadakan. Berbagai penamaan yang diberikan seperti silaturrahmi, tabligh akbar, ceramah agama, pengajian agama dan peringatan hari besar Islam. Kegiatan yang sebelumnya agak jarang diadakan namun akhir-akhir ini menjadi pemandangan yang sudah biasa. Para kandidat (baca calon walikota/Bupati) selalu saja menolak acara tersebut berbau kampanye.
Memang disadari ataupun tidak dengan digelarnya model pemilihan kepala daerah secara langsung membawa dampak serius terhadap perilaku politik elit agama (baca ulama) di tingkat lokal. Para aktor politik lokal tiba-tiba mendapatkan arena bermain cukup luas untuk menyalurkan bakat politik mereka secara bebas. Tampilnya para kandidat calon-calon kepala daerah di arena pilkada langsung, pada akhirnya harus menyeret berbagai kekuatan elit agama lokal yang memiliki basis massa yang kuat. Organisasi keagamaan menjadi ladang potensial untuk direbutkan para kandidat kepala daerah.
Kegagapan ulama di tingkat lokal terlihat dengan terjadinya pola-pola koalisi yang melibatkan agama dalam kekuatan politik dengan ideologi yang sangat berbeda. Hal ini mencerminkan ketidakpastian posisi ulama dalam mensikapi berlangsungnya model pemilihan langsung. Demikian juga mengalirnya dukungan elit agama terhadap kandidat tertentu yang tidak bersinggungan dengan basis keagamaan mereka, memperlihatkan betapa lemah dan fregile-nya pemahaman elit agama terhadap posisi strategis mereka sebagai orang yang dipercaya untuk mengurus agama di tingkat lokal. Hal inilah yang kemudian membawa sebahagian ulama kepada tarikan kepentingan dan orientasi politik jangka pendek dalam proses-proses transaksi politik yang ditawarkan oleh kandidat. Akhirnya para ulama bisa saja kemudian dijadikan sebagai ”ayam sembelihan” yang disajikan sebagai penghias hidangan ketika ada pesta hajatan.
Banyaknya ormas Islam dan para elitnya yang ikut bermain dan bahkan dipermainkan cenderung diperlakukan hanya sebagai obyek calon-calon kepala daerah yang tidak memiliki basis organisasi keagamaan. Model mobilisasi dukungan, baik secara individual maupun kelembagaan masih terus digunakan, dengan asumsi adanya rasionalitas individu berjalan linier dengan rasionalitas lembaga. Akan tetapi pada saat ini perkembangan politik di berbagai daerah dan semakin majunya tingkat pendidikan serta derasnya arus informasi membuktikan bahwa pilihan politik individu tidak lagi berbanding lurus dengan orientasi politik organisasi keagamaan. Klaim pimpinan organisasi akan adanya dukungan dari basis massa yang dipimpinya ternyata tidak sepenuhnya diikuti oleh seluruh anggota dari organisasi keagamaan tersebut.
Adanya anggapan akan mobilitas warga suatu ormas keagamaan ternyata tidak terbukti. Justifikasi akan calon kepala daerah mewakili dari ormas keagamaan tertentu ternyata mendapatkan suara sangat kecil dibandingkan dengan suara yang dimiliki gabungan partai politik yang mencalonkan. Di atas kertas seolah-olah calon kepala daerah tersebut sudah punya dukungan bahkan diminta oleh ormas keagamaan tersebut ternyata pada pemilihan warga organisasi keagamaan tersebut punya pasangan lain yang dijagokan.
Tentu saja hal ini menjadi pelajaran bagi calon-calon kepala daerah yang akan bertarung pada tahun 2010 ini. Bagi organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan (baca Islam) untuk kembali kepada khittah awalnya. Pemilihan kepala daaerah yang semakin dekat termasuk di Kota Bukittinggi hendaknya berjalan sesuai dengan nilai-nilai demokarasi. Semoga***.
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Guru Ngaji

Nasib Guru Ngaji
Adlan Sanur

Mayoritas umat Islam memandang bahwa pendidikan agama (baca pendidikan Islam) menjadi pendidikan kelas dua. Di sisi lain pendidikan umum di tempatkan pada posisi nomor wahid. Hal ini terlihat dari kualitas dan kwantitas serta tamatan pendidikan Islam yang masih dipandang jauh dibawah pendidikan umum. Walaupun hal ini tidak bisa digeneralisasi semua umat Islam berpandangan demikian. Karena sebahagian para orang tua atau masyarakat masih banyak yang mendahulukan pendidikan agama anak-anaknya.
Hal yang paling mudah untuk dijadikan contoh tentang penilaian yang rendah terhadap pendidikan agama adalah pendidikan mengaji anak-anak di MDA atau masjid di sekitar kita. Bila diperhatikan para orang tua memasukkan anak-anaknya ke sekolah mengaji asal-asalan saja bahkan kalau tidak berbenturan dengan pelajaran di sekolah masing-masing baru bisa mengaji. Sesudah ikut mengaji kadang-kadang orang tua tidak mampu untuk membeli al-Qur’an, baju mengaji dan termasuk uang mengaji. Bahkan ada orang tua beranggapan memasukkan anak ke tempat mengaji (baca MDA/TPA/TPSA) dianggap tidak menjanjikan dan tidak siap pakai untuk mendapatkan lapangan kerja yang dibutuhkan pada saat ini. Paradigma ini tertanam di tengah-tengah sebahagian masyarakat dan orang tua yang penting sudah khatam yang sudah hebat dan cukup.
Akan tetapi yang sangat memprihatinkan adalah kondisi dan nasib guru ngaji atau ustaz/ah yang mendidik anak-anak di MDA/TPA/TPSA. Pertanyaanya pernahkah pemerintah atau masyarakat untuk melihat akan nasib dan kondisi tempat mengaji anak-anaknya. Berapa gajinya satu bulan, bagaimana proses belajar mengajar, ruangan dan lain-lain. Fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat selama ini adalah adanya anggapan bahwa untuk menjadi guru MDA adalah hal yang mudah. Hanya dengan bermodalkan pandai mengaji sudah bisa untuk menjadi guru ngaji. Sehingga para orang tua untuk membayar uang mengaji saja banyak yang menunggak tapi kalau membayar uang les sekolah itu cepat sekali.
Akibatnya banyak ditemukan uang honor atau gaji guru mengaji yang masih banyak dibawah UMR. Sungguh memang sangat memprihatinkan. Namun kemana mereka mesti mengadu sebab uang masuk yang diterima di MDA/TPA/TPSA juga sedikit itupun kebanyakan masing mengandalkan sumbangan dan partisipasi masyarakat sekitarnya. Kadang-kadang pemerintah memberikan bantuan tambahan insentif bagi guru MDA itupun kadang-kadang.
Masyarakat sering kali mengatakan bahwa yang penting para ustaz/ustazah ikhlas biar sedikit namun berkah. Mereka mengajarkan ayat-ayat Allah dan memang upah tidak di bolehkan. Hal ini ada juga dalam pandangan masyarakat. Syukur-syukur sudah dapat mengajar mengaji. Namun ada juga para guru mengaji yang berpenghasilan lumayan ketika diminta para orang tua yang berkecukupan menjadi guru privat ngaji untuk anak-anaknya di rumah.
Kita biasanya selalu bernostalgia dengan masa lampau dimana Sumatera Barat (baca Minangkabau) banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual dan ulama yang terkenal dan selalu disebut buya Hamka dan M.Natsir. Namun semua itu hanya romatisme saja. Dikatakan dulu orang tidur di surau dan belajar mengaji tetapi hal itu sekarang tidak ada lagi. Mestinya kita semua berfikir bagaimana mengangkat kembali pendidikan Islam atau pendidikan agama dengan menghidupkan lembaga-lembaga keagamaan.
Kalau diperhatikan ke kota Bukittinggi. Kota pendidikan yang berbasiskan aqidah ini, sudah tentu titik tekannya adalah bagaimana pemerintah kota Bukittinggi juga harus komit untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan bukan hanya membuka acara khatam qur’an saja yang dibanggakan namun juga mesti memperhatikan para guru ngaji yang tiap hari dengan sabar dan tekun menuntun bacaan anak-anak harapan masa depan. Sudahkah penghidupan dan gaji yang mereka layak dan patut? Sudahkah para guru mengaji dibekali dengan pelatihan mengajar? .Kalau belum ini menjadi perhatian kita bersama. Semoga.
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Narkoba dan Dunia Wisata

Narkoba dan Dunia Wisata
Adlan Sanur Th

Penyalahgunaan narkoba di Indonesia merupakan masalah serius yang harus dicarikan jalan penyelesaiannya dengan segera. Banyak kasus yang menunjukkan betapa akibat dari masalah tersebut diatas telah menyebabkan banyak kerugian, baik materi maupun non materi dari segala pihak ditengah-tengah masyarakat. Berbagai tempat di Indonesia memang menjadi selalu jadi incaran para bandar.
Banyak kejadian, seperti kecanduan yang terus menerus atau kesulitan lain bahkan kematian yang disebabkan oleh ketergantungan terhadap narkotika dan obat-obat terlarang terus berlansung di tengah-tengah lingkungan kita. Kejadian terakhir skala nasional adalah tertangkapnya Roy Martin artis sekaligus penyuluh narkoba, yang menyatakan telah insaf dari kecanduan ternyata selesai penyuluhan tertangkap tangan sedang berendehoi bersama teman-teman dalam pesta narkoba. Untuk Kota Bukittinggi kasus terkhir adalah tertangkapnya penyanyi saluang yang cukup terkenal di Sumatera Barat terlibat narkoba.
Berbagai tempat di wilayah kita di Indonesia ini tanpa terkecuali kota Bukittinggi sebagai kota wisata bukan hanya sebagai tempat transit dalam perdagangan dan peredaran gelap narkoba, tetapi telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan di beberapa kota telah menjadi tempat untuk produksi gelap narkoba.
Situasi kejahatan narkoba di Indonesia dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir dapat digambarkan melalui data angka kejahatan, jumlah tersangka serta barang bukti yang berhasil disita. Seolah-olah ada anggapan bagi masyarakat kalau ingin cepat kaya ya jadi Bandar narkoba. Dengan lolos membawa barang ini beberapa kali hasilnya akan berlipat ganda tanpa memeras keringat. Apalagi di saat ekonomi yang sedang sulit sekarang ini maka banyak masyarakat yang mengambil jalan pintas untuk menjadi bandar Narkoba.
Bila disigi ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) seperti LP Kota Bukittinggi justru yang banyak menjadi penghuni Lapas adalah terlibat dengan kasus Narkoba. Ini memang mesti menjadi perhatian kita bersama. Bukittinggi yang dijuluki sebagai kota wisata jangan hendaknya dinodai oleh perdagangan Narkoba. Dan untuk menjaga sebagai kota wisata yang bersih dari Narkoba itu perlu menjadi concern dari berbagai pihak.
Bukittinggi memang daerah yang sangat strategis dari berbagai penjuru. Belum lagi alamnya yang sejuk. Orang sering menyebut rasanya belum cukup datang ke Sumatera Barat kalau belum sampai ke Bukitinggi. Julukan sebagai kota Pendidikan, Kota Perdagangan dan Kota wisata bagi Bukittinggi tentu mesti tetap dipertahankan. Tetapi di sisi lain pekerjaan rumah sudah menunggu yaitu untuk memberantas narkoba.
Sudah tentu tugas ini bukan hanya tugas dari aparat kepolisian namun seluruh stakeholders yang ada di Bukittinggi selalu siaga I terhadap narkoba. Sehingga seluruh masyarakat merasa waspada terhadap narkotika ini. Memulainya sudah tentu dari kelompok yang terkecil yaitu keluarga dan penanaman nilai-nilai Islam akan bahaya narkoba tersebut hendaknya sudah dimulai. Bukankah mencegah lebih baik daripada sudah terjadi.
Sekali lagi dengan adanya kunjungan wisata yang dicanangkan oleh pemerintah termasuk kunjungan ke kota Bukittinggi memang suatu hal yang positif. Apalagi kota Bukittinggi yang punya banyak tempat untuk kunjungan para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Tetapi juga perlu dihindari dari kunjungan bandar narkoba untuk menjadi Bukittinggi sebagai sasaran. Pelaku pariwisata hendaknya sudah mafhum bahwa narkoba tidak hanya merusak generasi muda masyarakat kota Bukittinggi tetapi juga merupakan dosa bagi yang melakukan. Mudah-mudahan julukan kota wisata untuk kota Bukittinggi tidak identik pula mendapat julukan kota narkoba. Bukittinggi Kota wisata yes narkoba no. say no to drugs.
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel KNPI Bkt

HARAPAN PADA KNPI BUKITTINGGI
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag


Kegiatan Musyawarah Daerah DPD KNPI Kota Bukittinggi pada tanggal 27 Februari 2010 setidaknya meninggal catatan kecil tersendiri bagi penulis. Catatan kecil itu adalah tentang persaingan dalam pemilihan pucuk pimpinan KNPI Bukittinggi (baca ketua). Dimana masing-masing calon saling menghormati dan menghargai.
Baik sebelum Musda maupun sesudah Musda masing-masing calon ketua saling bercengkerama dan bersilaturrahim. Karena kadang-kadang Musyawarah di KNPI sering kali menjadi ajang acrobat. Bukan rahasia umum lagi, pergantian pucuk pimpinan dari tingkat pusat hingga daerah selalu diwarnai dengan praktek yang salah, premanisme dan intervensi birokrat.
Kecenderungan ini seringkali mencitrakan pergantian kepengurusan di KNPI dimana KNPI sebagai wadah berkumpul OKP juga mejadi ajang berkumpulnya para broker dan avonturir politik yang sangat bergantung pada uang dan kekuasaan.
Terasa sekali dengan musyawarah daerah KNPI Bukittinggi setidaknya wadah yang secara moral bertanggungjawab untuk mengawal citra yang telah terbangun dalam kurun beberapa tahun terakhir mulai tampak. Pencitraan KNPI sebagai lembaga independen dan laboratorium kader pemimpin masa depan sedikit mulai muncul kembali.
Oleh sebab tu hendaknya pemuda yang ada di Kota Bukittinggi harus membangun komitmen untuk terus menerus mengembangkan dan memberdayakan pemuda. Hal ini yang dirasakan dengan perlunya melakukan revitalisasi kembali institusi kepemudaan. Semua punya paradigma yang sama abahwa pemuda harus diberikan ruang yang cukup untuk melatih dan menempa dirinya menjadi calon-calon pemimpin bangsa di berbagai bidang pengabdian.
Hal ini sungguh sangat sesuai dengan amanat deklarasi pemuda pada tanggal 23 Juli 1973. Dimana para pemuda mesti tetap pada komitmen tanggung jawab sebagai penerus cita-cita bangsa, yang disertai dengan tekad pengabdian dan berperan aktif dalam pembangunan.
Melaksanakan program kerja yang telah diamanahkan dalam MUSDA XI DPD KNPI Bukittinggi tidaklah semudah yang dibayangkan seperti membalik telapak tangan. Persoalan klasik terjadi lagi di KNPI yaitu persoalan dana operasional yang terhentinya antuan dana rutin dari Pemerintah Kota Bukittinggi. Bantuan yang mungkin didapatkan adalah dari bantuan perkegiatan melalui proposal.
Mudah-mudah kepengurusan tetap optimis untuk melangkah dengan tegar dengan segala kesungguhan untuk melakukan program-program yang cemerlang.
Prototipe yang dikembangkan oleh KNPI didasarkan pada semangat kejuangan dan keinginan berdirinya negara republik yang kaya kemajemukan dan miskin peperangan. Ini dijalankan sesuai amanat organisasi KNPI dalam menumbuhkan, menggerakkan serta menyalurkan dinamika, militansi dan idealisme pemuda Indonesia.
Kondisi ini seharusnya berada pada titik maju dalam rentang waktu ke depan. Praktek-praktek penyelenggaraan organisasi yang cenderung destruktif dan merusak image organisasi ini seharusnya segera ditinggalkan, paling tidak diminimalisir.
Semoga kepengurusan yang akan dibentuk punya semangat juang yang tinggi demi majunya pemuda di Kota Bukittinggi. ***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Ulama

Ulama dan Misionaris
Oleh: Adlan Sanur Th*

Sejatinya peran ulama adalah memberi penjelasan kepada umat tentang berbagai soal aspek kehidupan, termasuk memperkuat keberadaan umat tidak saja dalam aspek agama, tetapi juga aspek sosial, politik, budaya dan bencana. Bahkan posisi ulama sangat diperlukan dalam kondisi umat tertekan sebagai penyejuk serta sitawa sidingin bagi umat yang ditimpa musibah. Ulama memang selayaknya tak hanya berada di masjid, tapi juga turun tangan membantu apapun yang terjadi ditengah-tengah umat.
Selain itu, posisi dan peran strategis yang bisa dimainkan ulama adalah menjadi perantara dalam menjelaskan atau memberi pemahaman tentang apa yang sedang berlangsung di tengah umatnya, sehingga umat akan mendapat informasi yang benar. Posisinya sebagai perantara antara dunia bawah (umat) dengan dunia di luarnya yang membuat ulama disebut sebagai makelar budaya atau cultural brokers.
Peran ulama sebagai makelar budaya ini semakin absah tatkala umat memandang sosok ulama sebagai orang yang mempunyai barakah, blessing. Dalam teoretisasi Max Weber, seseorang yang mempunyai barakah adalah orang yang berkarisma dan suci. Orang yang dianggap kudus dan punyak karakter serta sikap dalam mengambil setiap keputusan. Bila ulama telah memberikan fatwa dan terapi social tentu saja umat akan patuh dan mengikuti apa yang saja yang diajak oleh ulama.
Oleh karenanya karisma seorang ulama menempati kedudukan yang sangat tinggi di mata umat. Namun, kedududukan yang tinggi ini pula yang menyebabkan ulama selalu diminta atau tidak diminta untuk selalu bersama-sama dan bertanggungjawab dengan masyarakat. Ulama dan umat bersama-sama memikirkan jalan keluar serta win-win solution dari persoalan yang sedang mereka hadapi.
Ulama sudah sepatutnya berada dekat di sisi masyarakat, agar masyarakat merasa nyaman dan tidak mudah down atau kehilangan panduan. Pada kondisi sulit itu, masyarakat butuh pembimbing dan pengayom yang mengarahkan mereka agar mereka tetap stabil dengan keimanannya.
Berkaitan dengan gempa yang melanda masyarakat Sumatera Barat dan pasca gempa maka, dalam upaya tanggap darurat, penyelamatan korban dan mengembalikan mental korban, sangat dibutuhkan peran aktif ulama. Peran ini sudah dicoba oleh sebagian ulama, sayangnya peran mereka kadang-kadang mereka tidak didukung sepenuhnya oleh para umara.
Sehubungan dengan persoalan akan pentingnya ulama dalam mengayomi umat sejalan denga apa yang penulis tulis sebelumnya tentang adanya misionaris yang berkedok agama di Agam tentu saja dituntut banyak peran penting bagi umat. Walaupun penulis melihat sudah banyak hal yang dilakukan oleh ulama yang terhimpun dalam Majelis Ulama Indonesia. Penulis melihat para ulama turun secara bersama memberikan wejangan (dakwah) bagi masyarakat yang ditimpa musibah baik di Pariaman maupun di Agam sendiri.
MUI Bukittinggi sendiri bahkan pada hari Raya Idul Adha memberikan bantuan atau memotong hewan Qurban untuk masyarakat yang sedang ditimpa musibah. Ini tentu saja patut untuk diapresiasi. Namun tentu dalam persoalan adanya misionaris yang berkedok bantuan di Kabupaten Agam sebagaimana yang telah penulis singgung di atas tadi maka MUI Agam mesti turun untuk mencek kebenaran ini. Kalau iya memang ada mesti cepat diambil tindakan tegas. Kalau mesti wacana perlu tindakan pencegahannya. Tugas mulia ini tentu saja didukung oleh seluruh elemen masyarakat termasuk pemerintah. Sehingga Agam akan terhindar dari adanya mafia-mafia bantuan yang bertopengkan agama dengan maksud-maksud tertentu.***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Misionaris

HATI-HATI MISIONARIS
BERKEDOK BANTUAN DI AGAM
Oleh: Adlan Sanur Th

Pemberitaan mengenai misi bantuan berkedok agama bukanlah isapan jempol belaka. Beberapa waktu yang lalu sempat jadi bahan dikusi dan perbincangan di beberapa media. Bahkan ada media local yang menjadikan tajuk utama tentang adanya misi-misi terselubung yang dilakukan oleh lembaga yang “dicurigai” punya maksud-maksud tertenu dalam memberikan bantuan. Tidak sampai disitu saja titik persoalannnya bahkan ada kepala daerah yang geram akibat bantuan yang tidak disalurkan oleh masyarakat karena dianggap ada misi terselubung dari Negara donor yang selama ini banyak melakukan kekejaman dan pembantaian kepada umat Islam di Negara lain.
Memang dari awal banyak yang berpandangan untuk “positif thinking” saja dalam artian bahwa tidak akan ada udang dibalik batu dari setiap bantuan yang diserahkan oleh pihak-pihak asing atau lembaga-lembaga donor/NGO kepada masyarakat yang sedang dirundung musibah (pasca gempa). Memang ada yang mengelak dengan dalih bahwa ketika kondisi masyarakat yang sedang dalam kesulitan persoalan agama jangan dibawa. Artinya jangan ada saling curiga dalam misi bantuan yang diberikan walaupun darimana asalnya. Bantuan misi kemanusiaan ya bantuan kemanusiaan tanpa ada aling-aling untuk melihat dari mana asal, suku, agama, bangsa, ras karena murni hanya sifatnya untuk membantu. Bahkan ada slogan yang dimunculkan yaitu “ Bantuan kemanusiaan yes, misionaris no” terpasang di posko bantuan kemanusiaan yang dibentuk oleh masyarakat.
Perhatian masyarakat memang tidak banyak lagi terhadap adanya misi-misi terselubung yang sedang bergentanyangan ditengah-tengah masyarakat yang ditimpa musibah gempa. Apalagi pasaca gempa dan sudah akan adanya recovery dan rehabilitasi rumah masyarakat. Namun dari sumber yang dapat dipercaya bahwa di kecamatan Malalak Kabipaten Agam ada sejumlah LSM yang “dicurigai” bermaksud untuk mendapatkan lahan tanah. Tentu jadi pertanyaan besar bagi masyarakat untuk apa tanah ini dan bagi siapa peruntukannya. Sebab kalau untuk sarana ibadah tentu ini jadi masalah besar karena di Agam sampai saat ini belum ada gereja sepengetahuan penulis.
Tentu persoalan ini tanggung jawab kita bersama dimana umat juga perlu ditanamkan pencerdasan beragama dengan memberi pemahaman yang benar mengenai ajaran Islam. Keteguhan untuk memegang erat-erat aqidah yang mendarah daging sebagai barang yang berharga. Memang tidak semudah membalik telapak tangan karena persoalan orang untuk betul-betul mampu memegang teguh agamanya sulit sekali. Betullah kata Nabi bahwa kemiskinan dekat dengan kekafiran. Bahkan kadangkala bukanlah hanya persoalan materi bisa saja persoalan kehausan spritual yang selama ini tidak didapatkan dari kelompok/aliran lama yang dipegang juga membuat pemeluk agama Islam terkesima dengan masuknya ajaran(baca agama) lain.
Munculnya bantuan dalam bentuk motif dan corak yang beragam seakan membuat masyarakat untuk selalu waspada. Bukankah mencgah lebih baik daripada sudah terjadi. Peran dari berbagai lembaga keagamaan, para muballigh dan pemerintah bersama-sama mengadakan pemahaman akan kesabaran menghadapi musibah disertai dengan mengadakan tindakan preventif dengan selalu membekali keluarganya dengan nilai-nilai agama Islam sangat diperlukan. Perlu diberikan pencerahan kepada masyarakat yang ditimpa musibah bahwa walaupun bantuan didapatkan namun kalau Allah tidak ridha bisa saja datang bencana yang lebih besar. Semoga saja tidak akan terjadi.
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Pemimpin Idaman

Menunggu Pemimpin Pendidikan Idaman
Adlan Sanur Th

Berbagai paradigma dan asumsi yang dibangun dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Ada pandangan yang dianggap modern atau setidak-tidaknya yang diyakini banyak orang bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas harus dimulai oleh adanya sumber dana, perencanaan, tenaga yang berkualitas dan manajemen serta kepemimpinan yang kuat.
Akan tetapi, untuk kasus di Indonesia, semua variabel yang dibutuhkan itu tidak mudah disediakan secara berbarengan dalam waktu yang singkat. Bahkan celakanya, jika ada upaya kearah peningkatan kualitas pada umumnya dilakukan secara sporadis dan tidak dilakukan secara kontiniudan berkesinambungan. Pada umumnya niat baik itu operasionalisasinya ditempuh dengan pendekatan proyek. Padahal pendekatan proyek umumnya dioperasionalkan secara kaku dan formal.
Maka hal ini berakibat pada hasilnya amat sedikit lembaga pendidikan berhasil dikembangkan jika menggunakan pendekatan proyek. Padahal peningkatan kualitas pendidikan tidak harus menunggu hingga semua fasilitas pendidikan berhasil dilengkapi. Peningkatan kualitas pendidikan dapat dilakukan secara bertahap, dimulai dari kesadaran, semangat atau motivasi untuk maju. Oleh karena itu, jika hal itu dilakukan non proyek maka peningkatan kualitas pendidikan dimulai dari upaya menemukan sumber inspirasi dan kekuatan penggerak perubahan. Sumber insipirasi dan kekuatan penggerak itu berupa kekayaan informasi, visi dan misi, core of value dan core of believe. Kekayaan informasi dapat diperoleh lewat interaksi dan komunikasi yang semakin luas, hingga melahirkan kesadaran bersama untuk berubah. Kesadaran itu melahirkan kebangkitan untuk memperjuangkan pendidikan secara bersama.
Peningkatan kualitas pendidikan sesungguhnya selalu dimulai dari tingkatan pribadi orang yang terlibat dalam proses pendidikan itu. Orang-orang yang terlibat itu, mulai dari pimpinan, karyawan dan para siswanya. Oleh karena itu cara strategis meningkatkan kualitas pendidikan di suatu lembaga pendidikan harus ditempuh melalui peningkatan kualitas semua orang yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan itu.
Tetapi, jika dicari posisi strategis agen perubahan tidak lain adalah berada pada posisi pimpinannya atau kepala Sekolah. Berdasarkan pengamatan penulis sementara bahwa lembaga pendidikan akan maju ketika pimpinannya memiliki visi dan misi jelas ke depan, inovatif, progresif, memiliki integritas tinggi terhadap lembaga pendidikan yang menjadi tanggung-jawabnya. Atas dasar pandangan ini maka jika ingin melakukan perubahan terhadap lembaga pendidikan –termasuk dari pendidikan dasar sampai pada pendidikan tinggi, bagaimana memperoleh pimpinan yang memiliki kemampuan leadership dan manajerial yang mampu melakukan perubahan bersama.
Pertanyaan adalah bagaimana mendapatkan seorang yang memiliki kemampuan manajerial dan leadership sekaligus. Pertanyaan lanjutannya adakah akan didapatkan sosok manusia seperti itu? Apakah dapat dibentuk atau lahir dengan sendirinya. Jika seseorang yang berkharakteristik seperti itu sesungguhnya dapat dibentuk maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana membentuknya, dan kalau itu melewati proses maka proses seperti apa hingga melahirkan pemimpin pendidikan yang dibutuhkan untuk menggerakkan lembaga pendidikan yang jumlahnya cukup banyak.
Kota Bukittinggi sebagai kota pendidikan tentunya sangat mengidamkan dan menunggu pemimpin pendidikan yang ideal mulai dari level terendah hingga level tertinggi. Semoga saja akan muncul pemimpin pendidikan atau kepala sekolah yang mampu mengangkat harkat dan martabat pendidikan yang lebih maju di kota Bukittinggi. ***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Manuggal Sakato

Manunggal Sakato Bukittinggi Masihkah?
Adlan Sanur Th


Manunggal sakato merupakan salah satu perwujudan filosofi dari sifat kegotongroyongan dan saling membantu dari masyarakat Minangkabau. Selain sebagai ajang silaturrahim antar warga sekaligus untuk memberikan kesempatan kepada warga masyarakat berpartisipasi dan ikut serta dalam pembangunan di daerahnya masing-masing. Tradisi masyarakat yang selalu tolong menolong diwejantahkan dengan membangun infra struktur masyarakat dengan dana pancingan yang disediakan pemerintah. Bahkan beberapa lokasi yang belum tersentuh pembangunan atau jalan di buka. Bangunan untuk kegiatan masayadan diundang untuk ikut serta berpartisipasi manunggal sakato.
Manunggal sakto telah berlangsung dan selesai dilaksanakan dikota Bukittinggi yang tersebar di kelurahan yang ada di kota Bukittinggi. Beberapa kegiatan pembangunan telah dilaksanakan. Masyarakat sebahagiannya sudah menyisihkan waktu untuk ikut bersama-sama masyarakat lainnya secara ikhlas memberikan sumbangan baik tenaga maupun harta benda untuk susksesnya pelaksanaan manunggal sakato di kota Bukitinggi.
Para ibu-ibu yang ada di kelurahan juga tidak ketinggalan dimintakan sumbangannya berupa makanan ringan dan nasi. Bahkan ada yang memberikan langsung sumbangan konsumsi ini tanpa diminta. Tidak hanya itu ada juga warga yang menyumbang berbentu bahan seperti semen, pasir dan macam-macam lainnya dalam rangka berpartisipasi aktif untuk kegiatan manunggal sakato tersebut.
Akan tetapi pertanyaan yang selalu menggelitik dan tanda tanya besar bagi penulis (sebagai salah seorang peserta manunggal sakato) adalah masihkah manunggal sakato ini dibutuhkan oleh warga masyarakat kota Bukittinggi? Apakah masyarakat mesti selalu dikoordinir untuk bergotongroyong? Jawabannya bias iya sangat dibutuhkan dan bisa saja tidak lagi dibutuhkan. Kata orang tergantung dari sudut pandang mana melihatnya dan kacamata apa yang dipakai untuk meneropong persoalan ini.
Bagi penulis tergantung evaluasi dan acuan standar yang ditetapkan oleh pemerintah kota Bukittinggi untuk mengukur tingkat keperluan dan kebutuhan masyarakat kota Bukittinggi akan manunggal sakato tersebut. Kalau hanya untuk menghabiskan anggaran sedangkan lahan yang mesti dikerjakan sudah dikerjakan oleh dinas lain katakanlah seperti PU serta partisipasi masyarakat sangat rendah dengan melihat absen kehadiran masyarakat dan tidak adanya lagi permintaan masyarakat tentang hal yang mesti dimanunggalkan atau sudah dikerjakan secara bergotongroyong oleh masyarakat di luar waktu manunggal maka manunggal ini mesti dievaluasi apakah akan diadakan tahun depan atau tidak.
Tapi bila memang manunggal ini dirasakan memberikan nilai tambah yang positif bagi masyarakat kota Bukittinggi tentunya hal ini mesti dipertahankan dan bahkan volume waktunya mesti ditambah. Sehingga sikap indivindualistis yang sedang menggerogoti masyarakat mulai hilang dengan adanya pangilan untuk ikt manunggal sakato. Semoga manunggal selesai tanpa ada evaluasi tentang tingkat keberhasilan yang dirasakan masyarakat. ***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel KPU&Pilkada

KPU dan Pemilihan Kepala Daerah
Adlan Sanur Th

Pemilihan Kepala Daerah sudah semakin dekat. Tentu saja institusi yang akan banyak disorot oleh publik adalah penyelenggara pemilihan yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sebagiamana diketahui Komisi Pemilihan Umum (KPU) pertama-tama dan yang terutama adalah sebuah lembaga publik yang secara penuh mengabdi untuk kepentingan publik dalam konteks pemilu pasca orde baru.
Jadi, siapa pun, dari kalangan mana pun, atas kepentingan apa pun adalah merdeka dan sah-sah saja dalam menyoroti ataupun mengomentari kinerja KPU dalam konteks penyelenggaraan Pemilihan atau pilkada.
Oleh karenanya tentu saja KPU pada batasan tertentu memang harus terbuka untuk diakses oleh publik dengan berbagai cara dan berbagai kepentingan oleh masyarakat.
Alasannya, inilah barangkali yang tepat disebut sebagai dimensi akuntabilitas KPU terhadap hak politik masyarakat. Atau paling tidak, untuk memberikan ruang yang cukup bagi apa yang di dalam prinsip demokrasi dikenal sebagai "hak masyarakat untuk tahu". Tentu saja, tidak setiap tanggapan publik terhadap kinerja KPU mesti ditakzimi dan dianggap can do no wrong. Apalagi, tanggapan publik itu lahir dari sebuah ketidakpahaman atau kerancuan perspektif.
Sebagai contoh, bila di dalam perjalanan tugasnya, banyak praktik prosedural yang ditempuh oleh KPU yang terkesan tidak efisien. Apalagi kalau kita jeli dan tidak gegabah dalam memaknai apa yang disebut sebagai prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya tidak didesain untuk sebuah efisiensi, tapi untuk sebuah pertanggungjawaban!
Lagi pula, semua tahapan prosedural itu memang rohnya ada di dalam implementasi Undang-undang yang berkaitan dengan Pemilu, bukan melulu terjebak di dalam diskursus demokrasi prosedural atau bukan.
Maka tentu saja ada paradigma yang harus dibangun dan dipahami, KPU hari ini bukanlah perpanjangan kepentingan kekuasaan seperti fungsi yang diperankan lembaga sejenis di zaman Orde Baru. Eksistensialitas KPU semata-mata tunduk pada amanat unang-undang untuk melayani pemenuhan hak politik rakyat yang tidak kurang dan tidak lebih.
Banyak kemudian rasa frustasi ditengah-tengah masyarakat akan ketidakpercayaan terhadap lembaga KPU (baca penyelenggara Pemilu) pada masa Orde Baru. Sehingga banyak masyarakat yang tidak mau berpartsipasi politik dikarenakan sebahagiannya ketidakpercayaan terhadap penyelenggara Pemilu.
Namun sejalan dengan masuknya orde reformasi dimana sudah adanya keterbukaan dan independen maka KPU juga telah berbenah. Sudah barang tentu, KPU tidak akan mampu memuaskan seluruh kepentingan politik yang ada di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, satu hal bisa dipastikan bahwa dengan idealisme, KPU akan senantiasa berjuang untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu sebagai realisasi atau aktualisasi hak politik rakyat.
Hal ini tentu saja akan setiap saat selalu ditunggu oleh masyarakat akan keindependenan KPU serta selalu menjunjung nilai-nilai demokrasi. Masyarakat tentu ingin KPU jadi lembaga publik yang akan bersikap netral lebih-lebih dalam pemilu kepala Daerah yang sudah diambang pintu.
Tahapan dan persiapan seyogyanya sudah dilakukan. Semoga saja pemilihan kepala daerah baik bupati maupun walikota berjalan dengan lancar, aman dan sukses. *** Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Kemiskinan Bukittinggi

Kemiskinan di kota Bukittinggi
Oleh: Adlan Sanur Th

Persoalan kemiskinan seringkali dijadikan sebagai kekuatan moral dan alat legitimasi bagi kaum mustad’afin yang tak mampu untuk bangkit dari ketertindasannya. Kadang kala si miskin menyerahkan dan menyalahkan sepenuhnya kepada Tuhan nasibnya menjadi miskin. Persoalan kemiskinan, ketimpangan sosial-budaya, marginalisasi dan eksploitasi dianggap hal sudah datang dari Allah. Hal ini bersandar pada rasionalisasi bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah menjadi taqdir Tuhan yang ditentukan sejak zaman Azali. Kemiskinan seseorang walaupun telah diusahakan kadang kala ditafsirkan sebagai intervensi Tuhan kepada manusia.
Memang pemahaman yang berlansung selama ini tentang teologi jabariyah telah membuat umat Islam menjadi stagnan dan tidak progresif, di mana akal dan kedaulatan manusia diletakkan dibawah teks dan kehendak Tuhan. Seolah-olah bahwa yang menjadikan seorang itu miskin adalah hak mutlak Tuhan tanpa ada campur tangan manusia di dalamnya. Seolah-olah manusia tidak bebas untuk menentukan pilihannya dalam hidup.
Kemiskinan memang telah menjadi issue yang sangat sering dibincangkan dan didiskusikan. Bahkan berbagai pihak termasuk pemerintah menititik beratkan programnya untuk meberantas kemiskinan tersebut. Tidak tanggung-tanggung di kota Bukittinggi sendiri Pemerintah Daerah sudah menaikkan anggaran untuk meningkatkan bantuan bagi masyarakat miskin perkotaan dengan berbagai kegiatan. BAZIS kota Bukittinggi juga mendapat suntikan dana untuk membantu pemberian modal bagi masyarakat miskin yang tersebar di berbagai kecamatan dari kelurahan yang ada di Bukittinggi.
Program pengentasan kemiskinan yang dicanangkan oleh pemerintah kota Bukittinggi ini patut diapresiasi. Namun persoalannya kemudian sudah sampai mana penurunan angka garis kemiskinan yang terjadi baik dari segi kwalitas dan kwantitas orang miskin yang ada di kota Bukittinggi. Kondisi masyarakat yang tinggal dikota dimana semakin lama terpuruk dalam suasana kebodohan dan kemiskinan hendaknya tidak diperparah lagi dengan kegiatan yang berselubung kemiskinan tapi hanya seremonial belaka. Bahkan yang sangat merisaukan factor kemiskinan dijadikan modal untuk mencari kegiatan dengan melakukan pemberdayaan kemiskinan dengan berbagai pendekatan. Jangan-jangan yang ditakutkan APBD dianggarkan untuk orang miskin ternyata yang sampai kepada masyarakat tidak sesuai dengan yang semestinya.
Keinginan Pemerintah untuk melakukan pengentasan kemiskinan berbasis agama seperti penanggulangan kemiskinan dengan pemberdayaan Masjid yang dilakukan Pemda Kabupaten Agam seperti TKPK serta bantuan untuk perumahan orang miskin di Kota Bukittinggi melalui BAZDA kota Bukittinggi yang sudah dilakukan, memang kegiatan yang menyentuh ada lapisan bawah. Termasuk juga pemberian bantuan modal ekonomi untuk simiskin juga kegiatan yang mesti didukung bersama. Tapi tetap saja untuk melakukan program bangkit dari kemiskinan ini, semua pihak mesti sejalan dalam satu pola dan sudut pandang yang sama baik dari para ahli ekonomi, tokoh adat, orang miskin dan pemerintah serta berbagai pihak lainnya. Bahwa mengentaskan kemiskinan perlu sinergitas termasuk perguruan tinggi maupun pemerintah. Karena berbagai sudut pandang untuk melihat titik persoalan dibutuhkan darin berbagai pendekatan. Apakah agama, psikologi, ekonomi termasuk juga nilai-nilai adat. ***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Artikel Mahasiswa Bukittinggi

Kemana Mahasiswa Bukittinggi
Adlan Sanur Th

Mahasiswa sering dikatakan sebagai insan intelektual dan menyandang gelar agent of change, yang memiliki peran penting dalam upaya untuk membangun dan berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah. Sebagai insan intelektual, tentu mahasiswa juga memiliki kewajiban untuk memikirkan kehidupan bangsanya. Mahasiswa seringkali dikatakan adalah orang yang maha siswa, orang intelektual, agen perubahan, control masyarakat dan sekian gelar fungsi yang diberikan kepadanya membuat mahasiswa punya posisi yang kuat.
Tidak kalah pentingnya mahasiswa adalah orang yang bergelut dengan akademisi dan buku. Selain itu mahasiswa adalah orang yang suka mengkritik sekaligus berdiskusi untuk memecahkan permasalahan baik berupa kebekuan pemikiran/ pemahaman juga sekaligus permasalahan social kemasyarakatan. Tidaklah asing bila mahasiswa kemudian terlibat berfikir dinamis, rasional dan menonjolkan pertimbangan intelektual dan win-win solution dalam menjawab permasalahan umat (baca masyarakat) termasuk di kota Bukittinggi sendiri.
Dalam banyak hal peran mahasiswa sebagai pemikir dan agen perubahan memang benar adanya. Sejarah mencatat mahasiswa Indonesia pernah menorehkan tinta emas perubahan bangsa. Angkatan ’66 berkontribusi sangat besar dalam menumbangkan rejim amoral pimpinan Soekarno. Sampai pada angin perubahan kembali dihembuskan oleh mahasiswa dengan mendorong lengsernya Soeharto dan menyusun agenda terhormat, reformasi setelah 32 tahun berkuasa. Semua ini menunjukkan bahwa mahasiswa punya peran yang kuat terhadap bangsa ini.
Tetapi apa yang terjadi mengutip apa yang diungkapkan Soe Hok Gie dalam kumpulan catatan hariannya, Catatan Seorang Demonstran. Mahasiswa berperan bak koboy yang tinggal di hutan, ada saatnya ia harus turun ke jalanan kota untuk menyelesaikan persoalan buntu. Setelah persoalan itu selesai maka koboy akan kembali menikmati kehidupannya di sela-sela pepohonan.Kalau dikaitkan dengan kondisi mahasiswa di Bukittinggi memang di satu sisi sudah mengalami kemajuan yang pesat. Banyak yang mantan mahasiswa mengisi posisi stategis.
Namun di inginkan gaung suara mahasiswa untuk tetap berkiprah dan eksis. Mahasiswa tampil di depan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial serta sekaligus melakukan kritik sosial yang membangun. Sebagai masyarakat yang terbesar dikampus dan terbanyak, seorang mahasiswa tentunya akan peka dengan perkembangan dan pergerakan komunitas yang ada disekelilingnya baik ke dalam maupun ke luar dari kampusnya. Amatlah terasa ganjil bila ada mahasiswa yang berlagak yaitu 5D (datang, duduk, diam, dengar,dungu) bahkan tidak tahu bagaimana perkembangan. Orang semacam ini sering kali disebut oriented study. Tanpa pernah menikmati perannya sebagai mahasiswa. Masa menjadi mahasiswa adalah masa yang manis dan idealis.
Sudah tentu menjadi mahasiswa ideal tidaklah semudah membalik telapak tangan butuh kemauan dan keinginan yang kuat. Karena tidak semua cita-cita dapat dicapai dengan mudah. Apalagi ditambah dengan permasalahan yang segudang apakah masalah ekonomi, ingin masuk organisasi baik intra maupun ekstra dan lainnya yang membelit mahasiswa.
Tetapi semua itu tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak tidak beraktivitas. Menjadi aktivis hendaknya jadi pilihan setiap mahasiswa. Tentu aktivis dalam artian untuk memadukan antara ilmu yang di dapat di kampus dengan mengaplikasikannya di tengah-tengah masyarkat. Banyak peran yang bisa diambil oleh mahasiswa Bukittinggi baik di dalam maupun di luar kampus. Buatlah kegiatan/program kerja yang berdaya guna untuk kemajuan mahasiswa dan masyarakat sekitarnya. Semoga gairah mahasiswa Bukittinggi untuk kembali aktif dan mengambil setiap peran di masyarakat akan terlihat. Semoga.***
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat