Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Rabu, 10 November 2010

Artikel Guru Ngaji

Nasib Guru Ngaji
Adlan Sanur

Mayoritas umat Islam memandang bahwa pendidikan agama (baca pendidikan Islam) menjadi pendidikan kelas dua. Di sisi lain pendidikan umum di tempatkan pada posisi nomor wahid. Hal ini terlihat dari kualitas dan kwantitas serta tamatan pendidikan Islam yang masih dipandang jauh dibawah pendidikan umum. Walaupun hal ini tidak bisa digeneralisasi semua umat Islam berpandangan demikian. Karena sebahagian para orang tua atau masyarakat masih banyak yang mendahulukan pendidikan agama anak-anaknya.
Hal yang paling mudah untuk dijadikan contoh tentang penilaian yang rendah terhadap pendidikan agama adalah pendidikan mengaji anak-anak di MDA atau masjid di sekitar kita. Bila diperhatikan para orang tua memasukkan anak-anaknya ke sekolah mengaji asal-asalan saja bahkan kalau tidak berbenturan dengan pelajaran di sekolah masing-masing baru bisa mengaji. Sesudah ikut mengaji kadang-kadang orang tua tidak mampu untuk membeli al-Qur’an, baju mengaji dan termasuk uang mengaji. Bahkan ada orang tua beranggapan memasukkan anak ke tempat mengaji (baca MDA/TPA/TPSA) dianggap tidak menjanjikan dan tidak siap pakai untuk mendapatkan lapangan kerja yang dibutuhkan pada saat ini. Paradigma ini tertanam di tengah-tengah sebahagian masyarakat dan orang tua yang penting sudah khatam yang sudah hebat dan cukup.
Akan tetapi yang sangat memprihatinkan adalah kondisi dan nasib guru ngaji atau ustaz/ah yang mendidik anak-anak di MDA/TPA/TPSA. Pertanyaanya pernahkah pemerintah atau masyarakat untuk melihat akan nasib dan kondisi tempat mengaji anak-anaknya. Berapa gajinya satu bulan, bagaimana proses belajar mengajar, ruangan dan lain-lain. Fenomena yang berkembang di tengah-tengah masyarakat selama ini adalah adanya anggapan bahwa untuk menjadi guru MDA adalah hal yang mudah. Hanya dengan bermodalkan pandai mengaji sudah bisa untuk menjadi guru ngaji. Sehingga para orang tua untuk membayar uang mengaji saja banyak yang menunggak tapi kalau membayar uang les sekolah itu cepat sekali.
Akibatnya banyak ditemukan uang honor atau gaji guru mengaji yang masih banyak dibawah UMR. Sungguh memang sangat memprihatinkan. Namun kemana mereka mesti mengadu sebab uang masuk yang diterima di MDA/TPA/TPSA juga sedikit itupun kebanyakan masing mengandalkan sumbangan dan partisipasi masyarakat sekitarnya. Kadang-kadang pemerintah memberikan bantuan tambahan insentif bagi guru MDA itupun kadang-kadang.
Masyarakat sering kali mengatakan bahwa yang penting para ustaz/ustazah ikhlas biar sedikit namun berkah. Mereka mengajarkan ayat-ayat Allah dan memang upah tidak di bolehkan. Hal ini ada juga dalam pandangan masyarakat. Syukur-syukur sudah dapat mengajar mengaji. Namun ada juga para guru mengaji yang berpenghasilan lumayan ketika diminta para orang tua yang berkecukupan menjadi guru privat ngaji untuk anak-anaknya di rumah.
Kita biasanya selalu bernostalgia dengan masa lampau dimana Sumatera Barat (baca Minangkabau) banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual dan ulama yang terkenal dan selalu disebut buya Hamka dan M.Natsir. Namun semua itu hanya romatisme saja. Dikatakan dulu orang tidur di surau dan belajar mengaji tetapi hal itu sekarang tidak ada lagi. Mestinya kita semua berfikir bagaimana mengangkat kembali pendidikan Islam atau pendidikan agama dengan menghidupkan lembaga-lembaga keagamaan.
Kalau diperhatikan ke kota Bukittinggi. Kota pendidikan yang berbasiskan aqidah ini, sudah tentu titik tekannya adalah bagaimana pemerintah kota Bukittinggi juga harus komit untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan bukan hanya membuka acara khatam qur’an saja yang dibanggakan namun juga mesti memperhatikan para guru ngaji yang tiap hari dengan sabar dan tekun menuntun bacaan anak-anak harapan masa depan. Sudahkah penghidupan dan gaji yang mereka layak dan patut? Sudahkah para guru mengaji dibekali dengan pelatihan mengajar? .Kalau belum ini menjadi perhatian kita bersama. Semoga.
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar