Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Selasa, 02 November 2010

Artikel Kemiskinan

Kemiskinan Dalam Pandangan Islam
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen Pemikiran Islam STAIN Bukittinggi)
Kemiskinan seringkali dijadikan sebagai kekuatan moral dan alat legitimasi bagi kaum mustad’afin yang tak mampu bangkit dari ketertindasannya untuk menyerahkan dan menyalahkan sepenuhnya kepada Tuhan. Persoalan kemiskinan, ketimpangan sosila-budaya, marginalisasi dan eksploitasi dianggap hal sudah datang dari Allah. Hal ini bersandar pada rasionalisasi bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi di dunia ini telah menjadi taqdir Tuhan yang ditentukan sejak zaman Azali.
Memang pemahaman yang berlansung selama ini tentang teologi jabariyah telah membuat umat Islam menjadi stagnan dan tidak progresif, di mana akal dan kedaulatan manusia diletakkan dibawah teks dan kehendak Tuhan. Seolah-olah bahwa yang menjadikan seorang itu miskin adalah hak mutlak Tuhan tanpa ada campur tangan manusia di dalamnya.
Padahal nilai dan ajaran tauhid dalam konsepsi Nabi Muhammad pada awalnya sangat erat kaitannya dengan perubahan sosial dari tatanan yang ekploitatif menuju tatanan yang berkeadilan. Namun, nampaknya kegagapan, serta kekakuan dalam mengkontekstualisakan teks yang membuat agama Islam kehilangan substansinya dari semangat perubahan sosial. Tapi apa yang terjadi pada saat ini dimana para elit keagamaan hanya sibuk dengan persolalan ritual-transendental semata, demi mencapai surganya Tuhan. Nampaknya, tidak ada lagi kesempatan masuk surga bagi kaum masakin, bodoh dan orang terbelakang, sebab kemiskinan yang menderanya membuatnya lalai menjalalankan perintah-Nya.
Justru sebenarnya dengan kondisi yang ada saat ini dimana adanya marginalisai dan penindasan bagi kaum mustad’afin dijadikan prioritas bagi elit keagamaan untuk melakukan perubahan dengan semangat iman dalam bentuk amal. Hal ini sesuai dengan anjuran Tuhan untuk selalu berlomba-lomba dalam kebajikan. Sejatinya, keshalehan ini diwujudkan dalam interaksi dan sistem sosial dalam kehidupan sehari-hari.Pada saat ini agama Islam yang sering dikatakan sebagai "rahmatal lilalamin" tidak akan berarti ketika tidak mampu memecahkan persoalan kemanusiaan. Inipun menjadi ahistoris dari kelahirannya, karena agama yang dibawa Nabi Mohammad hadir ditengah-tengah realitas sosial yang timpang dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Maka, keterlibatan agama dalam ranah sosial-politik menjadi mutlak adanya.
Para pengamat keagamaan seperti Frank Whaling ketika berusaha mendefinisikan agama, menyatakan bahwa sebuah komunitas iman, bisa disebut sebagai agama manakala memiliki delapan unsur pokok di dalamnya. Salah satu unsur pokok itu adalah keterlibatan dalam kehidupan sosial dan politik (involvement in social and political contexts). Maka, tak dapat dipungkiri bahwa semua agama yang ada di dunia mempunyai keterlibatan sosial dan politik, dimana perubahan menjadi inspirasi bagi setiap agama. Bahkan Whalling menilai Islam adalah agama yang mempunyai keterlibatan yang cukup tinggi. Penilaian ini tidak hanya datang dikalangan Non Islam, bahkan Farid Esack pemikir Islam Liberal berkebangsaan Afrika Selatan pun meyakini hal itu.
Dari hal diatas sudah semestinya kualitas iman yang diderivasikan ke dalam keshalehan ritual, seperti menjalankan perintah agama (sholat, puasa, haji, zakat) mesti terimplikasi dalam prilaku sehari-hari. Iman dan amal menjadi mata rantai yang harus sinergis, oleh karena itu keduanya tampil menjadi meanstream dalam sebuah perubahan sosial. Akan sulit kiranya, sebuah perubahan jika iman hanya disandarkan pada keshalehan vertikal (mahgdah) tanpa dibarengi dengan keshalehan sosial (amal shaleh) yang lebih memihak kepada persoalan kemanusian. Inti dari iman tidak cukup percaya kepada Tuhan, namun iman bisa berfungsi untuk memerangi ketidakadilan dan pembebasan manusia dari kemiskinan.
Melihat kondisi umat Islam inilah Moeslim Abdurrahman melontarkan ide cemerlangnya mengenai "Teologi Islam transformatif". Di mana Islam transformatif adalah Islam yang membuat distingsi dengan proses modernisasi atau modernitas, karena di dalam proses modernisasi itu banyak orang yang semakin tidak perduli terrhadap persoalan perubahan atau proses sosial yang semakin memarginalkan orang-orang yang tidak punya akses dengan pembangunan.
Penindasan dan pemarginalan terhadap kaum duafa’ dan masakin sering dilakukan oleh kelas-kelas dominan. Hendaknya elit keagamaan menjadi bagian dari proses dehumanisasi. Bersandar pada realitas seperti itu, maka mengahadirkan agama sebagai rahmatalilalamin bagi seluruh umatnya menjadi sebuah keharusan untuk menghadang dan membendung kemungkaran sosial.
Kondisi umat Islam di Indonesia yang mayoritas, dimana semakin lama terpuruk dalam suasana kebodohan dan kemiskinan hendaknya tidak diperparah para agamawan dengan menempatkan posisi ajaran agama pada tataran yang terpisah dengan kondisi social yang sedang dialami umat. Bahkan yang sangat merisaukan factor kemiskinan dijadikan modal untuk mencari kegiatan dengan melakukan pemberdayaan kemiskinan dengan pendekatan agama.
Keinginan Pemerintah untuk melakukan pengentasan kemiskinan berbasis agama seperti penanggulangan kemiskinan dengan pemberdayaan Masjid yang dilakukan Pemda Kabupaten Agam serta bantuan untuk perumahan orang miskin di Kota Bukittinggi melalui BAZDA kota Bukittinggi dan kota/kabupaten lain melakukan kegiatan berbasis agama patut diapresiasi. Tapi tetap saja untuk melakukan program bangkit dari kemiskinan ini, semua pihak mesti sejalan dalam satu pola dan sudut pandang yang sama baik dari agamawan, orang miskin dan pemerintah.*** Tulisan Sudah Dimuat di Singgalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar