Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Selasa, 09 November 2010

Majalah Koordinat Depag Sumbar

Inyiak Djambek Pengkritik Tarekat yang Moderat
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag*

A. Islam Indonesia dan Tarekat
Wajah Islam di Indonesia beraneka ragam, dan cara kaum muslimin di negeri ini menghayati agama mereka juga beraneka ragam serta bermacam-macam. Tetapi ada satu segi yang sangat mencolok sepanjang sejarah kepulauan ini; untaian kalung mistik yang begitu kuat “mengebat” Islamnya. Ini bisa terlihat dalam kehidupan dan tontonan setiap hari yang berbau agama selalu saja ada unsur mistisnya. Begitu dengan tulisan-tulisan yang muncul paling awal karya Muslim Indonesia banyak sekali bernafaskan semangat tasawuf dan kritik terhadap tarekat seperti acapkali dikemukakan orang, karena tasawuflah inilah orang Indonesia memeluk Islam. Islamisasi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh tasawuf dengan corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Pikiran-pikiran para sufi terkemuka seperti Ibn al-Arabi’ dan Abu Hamid al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengarang-pengarang Muslim generasi pertama di Indonesia. Hampir semua penulis buku atau pengarang tadi juga menjadi pengikut tarekat.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa tarekat merupakan tahap paling akhir dari perkembangan tasawuf. Menjelang penghujung abad ke-13 ketika orang Indonesia mulai banyak memeluk agama Islam, tarekat justru sedang berada di puncak kejayaannya. Secara sederhana dijelaskan bahwa kata ” tarekat” secara harfiah berarti jalan, baik mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, zikir, wirid dan sebagainya), yang dihubungkan dengan sederetan guru sufi dan organisasi yang tumbuh di seputar metode ini. Boleh dikatakan bahwa tarekat mensistematiskan ajaran metode-metode tasawuf. Guru-guru tarekat yang sama semuanya kurang lebih mengajarkan metode yang sama, zikir yang sama, dan dapat pula muraqabah yang sama. Seorang pengikut tarekat akan beroleh kemajuan dengan melalui sederetan ijazah berdasarkan tingkatnya, yang diakui oleh semua pengikut tarekat yang sama, hingga akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid).
Islam yang tumbuh dan berkembang di Minangkabau juga tidak terlepas dari tarekat yang muncul. Hal ini tidak dipungkiri hingga saat ini masih banyaknya masyarakat Sumatera Barat melakukan ritual ibadah tarekat. Tarekat Naqsabandiyah yang menyebar ke Nusantara dari pusatnya di Makkah akhirnya sampa ke ranah minang dalam batas tertentu boleh dipandang sebagai suatu gerakan pembaharuan. Untuk Sumatera Barat, aspek pembaharuan ini paling nyata buktinya, dimana tarekat Naqsabandiyah berada dalam konflik terbuka dengan tarekat Syattariyah dan aspek tertentu dari adat. Namun seiring dengan kaum pembaharu yang muncul melangkah lebih maju lagi, mereka mengutuk ajaran-ajaran dan amalan-amalan utama dari tarekat Naqsabandiyah sebagai bid’ah dan syirk. Serangan utama datang dari Ahmad Khatib (1852-1915) seorang ulama Minangkabau yang mukim di Mekah.
B. Syaikh M.Djamil Djambek dan Kritikan terhadap Tarekat
Namun banyak ulama yang tidak setajam dan seekstrem Ahmad Akhatib al-Minangkabawi. Ulama tersebut mengambil posisi tengah-tengah dan menjalin persahabatan pada ulama yang menentang tegas serta ulama yang membela tarekat. Bisa dikatakan blok ”modernis” melawan blok ”tradisionalis”. Walaupun mereka mengkritik tarekat akan tetapi masih memelihara hubungan persahabatan dengan beberapa yang menjalankan tarekat. Justru beberapa syaikh tarekat sangat kritis terhadap adanya penyimpangan tertentu dalam kalangan mereka sendiri.
Kritik yang relatif moderat terhadap tarekat Naqsabandiyah dilakukan oleh Sjech. Muhammad Djamil Djambek (1862-1947) yang dalam judul tulisan ini disingkat dengan sebutan Inyiak Djambek saja. Inyiak Djambek pernah di Makkah dan menjadi murid Ahmad Khatib serta punya guru yang tradisionalis (tarekat). Dua jilid kitabnya mengenai tarekat Naqsabandiyah dengan judul ”Penerangan tentang asal usul Tarekat Naqsabandiyah dan segala yang berhubungan dengan Dia”, Bukittinggi: Zainoel Abidin tanpa tahun sebagaimana dikutip dari buku Martin Van Bruinessen dengan judul ”Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia” :1992, hal. 112 dikemukannya bahwa Syaik M.Dajmil Djambek menampilkan pembahasan mengenai tarekat secara lebih berimbang dan lebih hati-hati dalam merumuskan kritik.
Salah satu argumennya ialah bahwa sumber-sumber Naqsabandiyah mengakui sendiri bahwa tarekat mereka di samping mempunyai silsilah melalui Abu Bakar, ada silsilah lain yang sejajar dengan itu melalui ’Ali. Inyiak Djambk menyimpulkan bahwa ini menggugurkan kesahihan klaim bahwa tarekat itu mewakili ajaran-jaran khusus yang disampaikan oleh Muhamad kepada Abu Bakar. Ia pun memberi komentar terhadap celah waktu antara wali yang digantikan dengan yang menggantikanpada silsilah Naqsabandiyahbagian permulaan. Sekaligus Inyiak Djambek berkesimpulan bahwa teori pembaiatan secara ruhaniah oleh seorang pengdahulu sangatlah tidak meyakinkan.
Argumen yang dibangun Inyiak Djambek adalah dengan mengkaji ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis yang dikemukakan para pembela Naqsyabandiyah demi mem petahankan ibadah-ibadah dan ritual mereka dan menyimpulkan bahwa para pembela itu harus mengambil jalan penafsiran lain yang istimewa dan langsung dapat dipahami, sebab yang telah mereka kemukakan tidak punya dasar sama sekali.
Melihat analogi serta kerangka pikir yang dibangun Inyiak Djambek dengan melakukan kajian ilmiah yang mendalam membuktikan akan adanya kerangka bangunan dasar untuk mengiritik terhadap suatu pendapat. Analisa ilmiah yang berdasarkan fakta bukan karena kebencian pada golongan tertentu membuat Inyiak Djambek kemudian menjadi panutan bagi orang yang mengeritik tarekat habis-habisan maupun bagi yang sangat semangat untuk membelanya. Inyiak Djambek akan bisa diterima oleh siapa saja dengan pemikiran modernisnya tersebut yang tanpa membabi buta.
Pantaslah pada tahun 1903 ketika Inyiak Djambek kembali ke tanah air dan memilih mengajarkan dan mengamalkan ilmunya kepada masyarakat dengan cara berdakwah/ mengaji ternyata di antara murid-muridnya terdapat guru tarekat. Tentu ini menjadi pelajaran berharga bagi para ulama kita pada saat ini. Dimana kadang kala hanya karena beda pada tataran yang khilafiah mengakibatkan hilangnya saling menghargai satu sama lain. Lebih fatalnya lagi terbelah menjadi kelompok-kelompok dan saling kelompok tersebut salin jatuh menjatuhkan. Lebih-lebih celakanya tidak mau sholat pada masjid yang tidak sefaham dengannya atau tidak bersedia mendengarkan pengajian yang bukan dari golongannya.
Inyiak Djambek setidaknya memberikan dua pelajaran berharga bagi kita, pertama bagaimana cara melakukan kritik terhadap pendapat orang lain dengan melakukan kajian ilmiah yang mendalam, kedua mengeritik pendapat orang lain namun hubungan silaturahim tetap terjalin sebagaimana biasanya. Julukan pengeritik moderat agaknya pantas di berikan kepada beliau. Mudah-mudahan ini menjadi cermin untuk berkaca bagi kita semua dan wawasan ilmu beliau menjadi khazanah intelektula yang tidak bisa dilupakan begitu saja.***
Tulisan Sudah Pernah di Muat di Majalah Koordinat Balai Diklat Depag Sumbar di Padang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar