Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Senin, 08 November 2010

Opini Puasa

Ibadah Puasa Sebagai Intropeksi Diri
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen Pemikiran Islam STAIN Bukittinggi)
Di antara nilai atau hikmah dari ibadah puasa yang dapat dipetik adalah bagaimana seseorang bisa menjadikan dirinya sebagai manusia dan akan menuju manusia yang bertaqwa. Selain itu juga ibadah puasa akan memberikan evaluasi sekaligus intropeksi terhadap diri bagi orang melakukan puasa tersebut. Karena dalam hidup ini tidak pernah atau jarang kita melihat orang lain dalam posisinya sebagai makhluk Tuhan yaitu manusia sebagai hamba Allah. Pangkat dan jabatan serta profesi yang disandang seseorang seringkali dianggap sebagai posisi yang disandangnya. Bahkan orang tersebut dalam jabatan yang diberikan selalu membuat seseorang lupa akan dirinya. Orang lain juga buta matanya diakibatkan tersumbatnya pandangan terhadap jabatan, pangkat dan profesi yang telah melekat terhadap diri seseorang. Oleh sebab itu tidaklah mustahil kemudian seseorang tidak pernah melakukan perhitungan terhadap dirinya sendiri.
Padahal menjadi polisi, wartawan, dosen, direktur, pimpinan perusahaan dan seterusnya itu, hanyalah apa dan menjadi apa. Sulit sekali orang menanyakan siapa, sedang dimana dan hendak kemana kita dalam hidup ini.Mestinya ini esensi dari manusia berada di muka bumi Allah ini. Memang mesti diakui bahwa berpacunya hidup seseorang untuk meraih cita-cita dan keinginan hidup serta sukses adalah bermuara ingin lulus menjadi manusia. Dengan demikian, sesungguhnya hal yang pertama di sadari betul adalah posisi kita sebagai sesama hamba Tuhan. Orang yang tahu tentu akan tahu apa yang terbaik yang harus dikerjakannya dalam hidup ini dan selalu menghisab dalam setiap perputaran dan roda kehidupan.
Posisi dihadapan Tuhan tentu tidak akan pernah diketahui oleh orang lain. Justru yang mengetahui itu adalah diri kita masing-masing. Berkaitan dengan itu, Islam memperkenalkan kepada kita tiga macam kesadaran: kesadaran diri ontologis(min aina) yakni kesadaran dari mana kita berasal; kesadaran diri histories (fi aina), yakni kesadaran dimana kita sedang berada; dan kesadaran diri aksiologis(ila aina), yakni kesadaran hendak kemana kita akan kembali.
Ketiga kesadaran tadi hendaknya menjelma terhadap tingkah laku dan perbuatan bagi orang yang sedang menjalani puasa. Tentu saja akan ada perbedaan dengan orang yang tidak memilikinya. Bagi orang-orang yang memilikinya akan melakukan hal-hal yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain. Mereka akan melakukan tindak-tanduk yang sesuai dengan kehendak Sang Pemilik Hidup, sebab mereka akan tahu persis bahwa kelak dikemudian hari tindak-tanduki mereka harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan.
Walaupun demikian, sebagai manusia hidup, kita diberi Allah keleluasaan untuk melakukan pilihan-piliha. Karena bagaimanapun hidup merupakan pilihan-pilihan dan resiko. Dipilih jalan hidup begini, resikonya sudah menghadang begini. Dipilih jalan begitu juga telah ada resikonya begitu.
Justru kemudian di situlah kelebihan manusia atas makhluk Allah yang lainnya. Karena manusia merupakan makhluk kemungkinan, makhluk yang bisa memilih. Kalau setan hanya pasti jahat, dan malaikat pasti baik, manusia mungkin bisa terkutuk dari setan dan bisa lebih terhormat di banding malaikat. Tinggal pilih. Justru disitulah letak manusia kemudian untuk melakukan muhasabah diri atau evaluasi akan dirinya.
Kalau seorang hamba tidak pernah merasakan apa makna dibalik ibadah puasa tersebut dengan mencoba membetot diri mereka sendiri keakar yang paling dalam akan merugilah orang tersebut. Padahal pada dasarnya ibadah puasa ini memberikan persamaan kedudukan yaitu sama-sama manusia hidup dan salah satu hikmahnya memberikan kesadaran dengan selalu mengadakan intropeksi diri. Memberikan kesadaran yang nyata terhadap setiap individu sehingga akan terasalah setiap bulan puasa datang setiap itu pula hamba Tuhan akan selalu memuhasabah dirinya.
Segala macam posisi social dan status social yang disandang saat ini di tengah-tengah masyarakat hanyalah symbol sementara saja, sementara orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa. Ibadah puasa memang tidak pernah membedakan bahkan melihat posisi seseorang apakah dia kaya, miskin, baik, jahat dan sebagainya.
Kalau tidak tumbuh hal ini bagi masing-masing orang yang berpuasa rasa untuk mengadakan intropeksi diri ini, maka pantas sajalah bulan puasa merupakan upacara tahunan, bahkan budaya tahunan tanpa meninggalkan atsar (memberikan bekas) sama sekali bagi yang melakukan ibadah ini. Berulang puasa setiap tahun tanpa pernah membentuk manusia atau memanusiakan manusia. Hal ini juga terus berlangsung di negeri kita yang mayoritas berpenduduk Muslim.
Jadilah sekali lagi ibadah puasa yang dilakukan sebahagian umat Islam hanyalah seremonial yang datang tiap tahun yang umat Islam suka atau terpaksa mesti mengerjakannya. Bila kesadaran ini muncul dari setiap orang yang melakukan puasa maka setidaknya puasa ini akan memberikan setetes makna yang indah untuk dikenang dalam melakukan evalusi diri. Wallahu a’lam. ***
Tulisan sudah Pernah di Muat di Harian Singgalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar