Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Senin, 08 November 2010

Artikel Tajdid

MEMPERTEGAS POSISI TAJDID MUHAMMADIYAH
Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen Pemikiran Islam STAIN Bukittinggi)


Muhammadiyah seharusnya perlu untuk mengkaji ulang gerakannya setelah memasuki usianya yang lebih dari satu abad ini. Kalau selama ini Muhammadiyah berorientasi pada ''gerakan tajdid'', maka di masa mendatang, Muhammadiyah perlu untuk replay kembali pola dan corak gerakannya. Pada abad kedua keberadaannya, Muhammadiyah harus melakukan ''tajdid gerakan'' (pembaruan gerakan), bukan lagi ''gerakan tajdid'' (gerakan pembaruan). Bahkan dalam cara helat Muhamadiyah seperti sidang-sidang muktamar, tanwir dan permusyawaratan lainnya isu tentang reformulasi gerakan Muhammadiyah tak pernah berhenti. Tatkala ada diskusi tentang JIMM di Media Centre, kelompok luar Muhammadiyah yang bergabung dalam HTI (Hizbuth Thahrir Indonesia) ikut menggempur anak-anak JIMM sebagai agen liberalisme. Meski sempat gencar diserang, tetapi dalam pernyataan terakhir tentang hasil Muktamar, JIMM tidak sempat disinggung. Hanya saja perjuangan perempuan Muhammadiyah untuk masuk ke pusaran Muhammadiyah terpotong. Ide ini menurut mereka merupakan bagian dari gerakan feminisme yang mereka kategorikan sebagai cabang dari liberalisme.
Baik sisi tajdid maupun purifikasi sebetulnya telah ada contoh jalan tengahnya, sebagaimana yang dijalankan oleh KHA. Dahlan tatkala menafsirkan surat Al-Ma’un yang menghasilkan Panti Asuhan dan Rumah Miskin merupakan tafsir baru yang berbau tajdid yang dilakukan Kyai meski tetap memperhatikan keaslian (purifikasi) ajaran. Sebetulnya dalam hal ini sudah ada rambu-rambunya, pembaharuan bisa dilakukan jika menyangkut hal ibadah keduniawian tetapi purifikasi jika menyangkut ibadah mahdhoh. Ini pun disadari oleh anak-anak JIMM. Hanya saja yang menjadi persoalan jika yang satu mengatakan sebagai urusan keduniawian tetapi yang lain mengatakan sebagai ibadah mahdhoh, tentu ini memerlukan jalan tengah.
Sebetulnya pilihan posisi Muhammadiyah seperti saat ini menurut Syafii Maarif, sesuai dengan ayat 143 Surat Al Baqarah “Demikian itu Kami menjadikan kamu ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi atar (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Ummatan Wasathan dipahami menurut mantan Menteri Agama Quraisy Shihab, adalah umat moderat yang posisinya berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru. Mereka dijadikan demikian, agar mereka menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama dengan mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.
Wasathiyat (moderasi atau posisi tengah) mengundang ummat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.
Peran-peran inilah yang akan dilakukan Muhammadiyah saat ini. Karenanya, dari berbagai kalangan Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi massa Islam yang membawa bendera moderat. Namun demikian peran demikian tidaklah mudah untuk bisa dilakukan Muhammadiyah. Karena di satu sisi harus berseberangan dengan kaum tradisional dan di sisi lain berseberangan pula dengan kaum garis keras. Di satu sisi, kaum tradisional menutup diri untuk membuka nuansa Islam yang telah dimilikinya. Dan di sisi lain, kaum garis keras memahami ajaranIslam secara tekstual.
Peran-peran posisi tengah ini sering terjebak dan berseberangan dengan yang lain. Dalam menerapkan ruju’ kepada Qur’an dan Hadits, pemahamannya sering berseberangan dengan kaum tradisional tetapi dalam menerapkan strategi dakwah sering bertentangan dengan kaum garis keras. Misalnya saja, dalam menerapkan fiqih di dalam peribadatan Muhammadiyah sering beriring bersamaan dengan kaum garis keras. Contoh dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Sehingga dalam masalah ini sering bertentangan dengan kaum tradisional.
Tetapi dalam hal berstrategi sering beriringan dengan kaum tradisional, misalnya masalah pencantuman syariah dalam Pancasila. Sehingga dalam masalah ini seolah-olah berseberangan dengan kaum garis keras. Karena pilihan yang demikian, sering Pimpinan Muhammadiyah menuai protes dari warganya yang memang beraneka ragam, baik yang dekat dengan kaum tradisional maupun dekat dengan kaum garis keras. Seperti masalah pencantuman tujuh kata di dalam Pancasila yang mewajibkan syariat, mereka menganggap Pimpinan Muhammadiyah anti syariah. Padahal itu masalah strategi dakwah saja yang menurut pimpinan belum waktunya untuk dicuatkan. Namun hingga saat ini persoalan ini juga sering dibaca dan diperdebatkan oleh kader dan simpatisan Muhammadiyah.
Oleh sebab itu perlunya kembali Muhammadiyah menentukan sikap dan sifat akan eksistensi perjuangan. Seiring dengan bergulirnya waktu dimana kondisi dan situasi masyarakat juga berubah perlu untuk meletakkan posisi dan khittah perjuangan yang jelas dan mudah dipahami oleh kalangan bawah Muhammadiyah.
Gerakan tajdid yang dipahami sebagai gerakan pembaharuan yang akan selalu siap dengan agenda perubahan tentunya juga mesti diadakan pemaknaan yang luas. Luas dalam artian tidak kebablasan dan tidak juga dalam arti yang ketat. Para kader dan simpatisan Muhammadiyah juga mesti taat pada rambu-rambu berorganisasi dan tidak membuat kreasi-kreasi yang justru membawa para anggota Muhammadiyah yang lain jadi berwacana pula. ***
Tulisan Sudah Pernah di Muat di Harian Singgalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar