Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Senin, 08 November 2010

Artikel Islam

Islam yang Membumi
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen Pemikiran STAIN Bukittinggi dan Sekretaris LASKEP Sumatera Barat)

Salah satu karakter Islam adalah dinamis. Hal itu tampak dari keluasan ajaran-ajaran Islam yang dapat dipakai oleh siapapun, dimanapun, dan kapanpun. Sejarah panjang agama-agama yang ada di dunia termasuk agama Islam menunjukkan bahwa salah satu ciri utama dari agama adalah mesti bisa diterima setiap tempat dan masa. Walaupun secara factual Islam turun di tanah Arab, tetapi Islam bukanlah semata-mata untuk masyarakat Arab. Islam memang turun untuk memberikan pencerahan bagi semesta alam sampai hari kiamat (rahmatan lil alamin) tidak hanya manusia sebagai khalifah di muka bumi akan tetapi makhluk hidup lainnya.
Oleh sebab itu, nilai-nilai atau ajaran Islam harus selalu up to date dengan masyarakat. Islam harus mampu memberikan win-win solution terhadap masalah kemasyarakatan yang muncul dalam bahasa yang biasa dipakai oleh para pakar adalah nilai-nilai Islam yang membumi atau ajaran-ajaran yang menjadi milik pribumi. Dalam kontek pendalaman terhadap pesan-pesan ilahiah yang terkandung melalui wahyunya (al-Qur’an dan Sunnah) mesti dipahami sebagai milik masyarakat atau pribumi. Bagaimana agama Islam sebagai agama langit kemudian turun ke bumi menjadi milik umat atau pribumi.
Kalau disigi dengan kondisi Islam Indonesia, memang fenomena beragama di Indonesia menarik untuk dikaji. Sebab baik secara kultural, sosial, suku bangsa maupun tata bahasa, kondisi Islam di Indonesia berbeda dengan tradisi negara-negara muslim lain, terutama dengan negara Timur Tengah yang nota bene dianggap sebagai basis Islam. Sedangkan Islam yang masuk ke Indonesia itu dibawa oleh para pedagang-pedagang yang sudah bercampur dengan tradisi lain. Memang perlu disadari bahwa Islam Indonesia adalah Islam yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan dan pengaruh tradisi lokal. Oleh karena itu, para intelektual, ulama, dan pemikir Islam di negeri ini selalu berusaha memberi formulasi agar ajaran Islam bisa diterapkan dalam konteks ke-Indonesiaan.
Berkenaan dengan hal itu timbul permasalahan karena setting masyarakat yang Islam datang pada daerah tersebut selalu berbeda-beda dari satu periode ke periode lainnnya, bahkan dari satu tempat dengan tempat lainnya meskipun dalam periode yang sama? Di sisi lain Islam dibutuhkan untuk selalu siap dengan masyarakat yang ada. Memang dipahami bahwa salah satu tata urutan dalam istinbath hukum Islam adalah ra’yu. Dalam studi pemikiran Islam, piranti itu dinamakan dengan ijtihad. Untuk kurun waktu terakhir ini, ijtihad terbukti cukup ampuh menjadikan ajaran-ajaran Islam selalu up to date.
Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan memberikan respek terhadap tatacara, adat istiadat dan budaya masyarakat lokal. Langkah ini jugalah yang ditempuh oleh para penyiar atau pendakwah Islam yang datang ke Indonesia dari Aceh sampai Jawa dan daerah-daerah penyiaran Islam lainnya. Dengan jalan memasyarakatkan ajaran Islam dalam konteks masyarakat lokal. Banyak kisah yang kita dengar para pendakwah menformulasi ajaran Islam selagi tidak melenceng dari aturan-aturan baku untuk menjadikan ajran Islam masuk dan bisa diterima. Mereka berusaha menyebarkan Islam dengan tidak mengabaikan tradisi-tradisi yang mengakar sebab jika mengonfrontasikannya pasti mengalami kegagalan. Jadi ada upaya-upaya menyesuaikan, jika memang tidak dapat mengubah, dengan adat dan tradisi setempat.
Inilah yang dirintis organisasi sosial kemasyarakatan Muhammadiyah dengan dakwah kultural dalam Sidang Tanwirnya di Bali. Agaknya, dakwah kultural tersebut dimaksudkan untuk memecahkan masalah trikotomi yang diungkapkan oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz. Geertz mengajukan tesis tentang tiga varian budaya umat Islam, yaitu budaya priyayi, santri dan abangan, yang juga mencerminkan stratifikasi sosial lapisan atas, menengah dan bawah, atau lebih khusus lagi dikotomi, antara apa yang disebut sebagai “Islam santri” dan “Islam abangan”, yang walaupun disebut oleh Geertz berlaku untuk Jawa, lebih khusus lagi Jawa Timur, dengan sampel desa Mojokuto, dekat Kediri, namun gejala itu berlaku juga untuk daerah-daerah lain di Indonesia.
Dakwah kultural Muhammadiyah mengakui secara tulus pentingnya menghargai multikulturalisme, keunikan, dan kekhasan setiap lapisan masyarakat. Juga bisa dipahami bahwa dakwah kultural sebagai strategi perubahan sosial bertahap sesuai dengan kondisi empirik yang diarahkan kepada pengembangan kehidupan Islami sesuai dengan kondisi masyarakat Islam. Upaya Muhammadiyah ini untuk mempersatukan persepsi dalam rangka menciptakan Islam yang sejuk dan bernuansa kultural di negeri ini sangat positif. Upaya semacam ini membuat kelompok abangan menjadi tidak memiliki hambatan mental untuk belajar Islam.
Mengutip pendapat Kuntowijioyo, yang membandingkan antara agama dan kebudayaan. Dimana antara keduanya saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat.
Memang menjadikan ajaran-ajaran Islam untuk bisa diterima oleh berbagai pihak bukanlah persoalan yang mudah. Ditambah lagi dengan persoalan kebudayaan yang sudah lama muncul. Karena masing-masing pribadi baca umat Islam punya pengalaman beragama yang berbeda. Tetapi setidaknya para pemikir dan pendakwah Islam mampu menyajikan agama dalam bentuk menu yang bisa diterima oleh berbagai pihak. Meminjam istilah pak Syafi’i Ma’arif adalah bagaimana agama Islam mampu ”menggarami” kehidupan umat Islam tapi tidak ”mewarnai” saja. Wallahu a’lam.***
Tulisan Ini Dibuat dalam Komentar di Harian Singgalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar