Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Selasa, 09 November 2010

Artikel Al-Itqan STAIN Bukittinggi

SAATNYA MAHASISWA MEMBANGUN “KAMPUNG”
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen Pemikiran Islam STAIN Bukittinggi)


Dari judul di atas membangun kampung bisa bermakna ganda, dimana makna pertama dalam arti lahiriah mahasiswa sesudah wisuda (baca sarjana) berkewajiban untuk pulang kampung juga sekaligus dengan makna kedua dengan ikut memikirkan situasi dan kondisi kampung dari jauh ( baca rantau). Sehingga mahasiswa bukanlah hanya menara gading yang sangat tinggi seolah-olah tidak tersentuh atau tidak mau tahu dan tidak pernah tahu dengan persoalan sosial kemasyarakatan. Sebagai insan intelektual sudah sepantasnya mahasiswa memiliki kepekaan terhadap kampung halamannya.
Seperti diungkapkan Soe Hok Gie dalam kumpulan catatan hariannya, Catatan Seorang Demonstran. Mahasiswa berperan bak koboy yang tinggal di hutan, ada saatnya ia harus turun ke jalanan kota untuk menyelesaikan persoalan buntu. Setelah persoalan itu selesai maka koboy akan kembali menikmati kehidupannya di sela-sela pepohonan. Namun koboy dimaksud, sudah saatnya tidak hanya di hutan saja bagaimana kemudian menyelesaikan persoalan daerahnya masing-masing bahkan ikut berpartisipasi untuk melakukan perobahan dengan ikut memikirkan asal dirinya.
Era Otonomi Daerah saat ini sebenarnya membuka peluang bagi daerah untuk mengadakan akselerasi, kreativitas sekaligus penggalian potensi aset-aset daerah dan kemudian digunakan dalam rangka percepatan pembangunan daerah. Otonomi memberi peluang kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk menyesuaikan betuk dan susunan Pemerintahan Desa berdasarkan asal-usul dan kondisi social budaya masyarakat setempat.
Begitu banyak masalah kedaerahan yang muncul dan yang terjadi pada saat ini. Hal itu tentu membutuhkan kerja keras dan pemikiran bersama. Adanya mahasiswa yang melakukan tugas akhir untuk mencapai gelar kesarjanaanya dengan melakukan penelitian terhadap kampung halamannya adalah satu sisi yang positif. Namun hendaknya hal itu tidak hanya dijadikan bahan kajian atau analisis untuk kepentingan nilai semata.
Apalagi mahasiswa saatnya tidak larut dalam pragmatisme dan gaya hidup hedonistik yang membuatnya tergiring pada absurditas hidup. Implikasinya mahasiswa sekarang ini mengalami apa yang disebut Sisela Bok sebagai compation fatigue, keletihan yang membuat seseorang kehilangan rasa terharu dan kepedulian terhadap sesamanya. Letih karena ketiadaan common enemy dalam konteks politik yang bisa menggerakkan elemen bangsa.
Pergerakkan mahasiswa hendaknya tidak melulu selalu bernuansa politik. Demo di jalanan atau berteriak-teriak hingga suara menjadi habis. Saat ini yang dibutuhkan adalah langkah konkrit untuk memutus mata rantai kesulitan dan masalah yang muncul di Daerah. Mahasiswa harus menyumbangkan ide dan metode untuk menanggulangi berbagai persoalan yang ada. Mungkin dimulai dari hal-hal yang kecil dengan punya kepedulian sosial untuk membantu para masyarakat dengan berbagai macam cara yang dilakukan sesuai dengan kemampuan mahasiswa termasuklah untuk pulang kampung membangun daerahnya.
Kegelisahan sebagai insan intelektual yang berkewajiban untuk menyelamatkan kampung halaman harus segera ditumbuhkan. Mahasiswa harus segera dipaksa untuk terjun langsung ke masyarakat dalam rangka menuntaskan kewajiban dalam menyelamatkan daerahnya. Mahasiswa harus tersadarkan untuk bergerak merekonstruksi bangsa pasca berbagai permasalahan masyarakat seperti masalah ekonomi, dakwah serta penyakit masyarakat serta mencegah agar bencana tidak datang kembali.
Inilah yang dilakukan ketika mahasiswa berada dikampus mulai ditanamkan kesadaran akan pentingnya bermasyarakat. Dimana dia tidak hanya berkutat dengan buku tapi juga bisa berorganisasi bahkan diterjunkan lansung ke tengah-tengah masyarakat baik dalam praktek kesekolah-sekolah atau lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan ataupun Kuliah Kerja Nyata (Kukerta/KKN) yang diadakan kampus. Semua itu demi ketersiapan mahasiswa untuk kembali ke masyarakat (baca daerah asalnya).
Tidak bisa ditepis kegiatan-kegiatan ekstra maupun intra kampus yang bersentuhan dengan masyarakat seperti Kemah Dakwah Mahasiswa, Kemah Bakti Mahasiswa dan Pengabdian Masyarakat lainnya membawa ingatan mahasiswa bahwa dia sesudah diwisuda akan kembali ketengah-tengah masyarakat. Seolah-olah kampus hanyalah menjadi persinggahan sementara untuk emberi bekal dan selanjutnya kembali ke tempat masing-masing.
Banyak sebenarnya persoalan daerah yang luput dari control social mahasiswa yang seolah-olah mahasiswa tidak tahu dan tidak mau tau dengan masalah daerahnya. Ditambah lagi penyakit yang menggurita mahasiswa yang tidak mau pulang kampung untuk mentransfer ilmu yang sudah di dapat di bangku perkuliahan. Back to village sebagai semboyan hidup mestinya menjadi cermatan setiap mahasiswa ketika dia tidak mendapat di kota atau di tempat lain. Kerinduan akan membangun dan mencerdaskan kampung hendaknya sudah tertanam dari setiap individu mahasiswa.
Persaingan yang ketat untuk mendapatkan lapangan pekerjaan di kota setidaknya akan memaksa mahasiswa untuk membangun daerahnya. Padahal di desa banyak peluang terbuka untuk mahasiswa apalagi yang sudah mendapat gelar kesarjanaan di kampus.
Kalaupun secara pisik tidak bisa pulang kampung minimal sumbangsih pemikiran tetap diberikan untuk kampung halaman. Karena orang kampung tidaklah membutuhkan kontribusi yang berbentuk materi saja namun rasa kebanggaan secara kebersamaan adalah point yang juga sangat penting. Terakhir, paradigma selama ini tertanam bagi kaum intelektual dengan perasaan malu untuk pulang kampung setidaknya mesti dihilangkan sejak dini. Wallahu a’lam.***
Tulisan Sudah Pernah di Muat di Majalah al-Itqan Kampus STAIN Bukittinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar