Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Senin, 08 November 2010

Opini Etika

KETIKA ETIKA AKADEMIK
MULAI TERKIKIS
Oleh :Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen dan Staf P3M STAIN Bukittinggi)

Manusia adalah makhluk moral, yang memiliki etika dan tanggung jawab. Di manapun manusia berada, ia selalu terikat dengan keharusan¬ dan keharusan. Profesi apapun yang dimiliki seseorang, ia terikat dengan etika profesi, atau lebih jauh terikat dengan kode etik profesi termasuk dosen, mahasiswa dan karywan sebagai orang-orang yang memainkan peran untukmelakukan proses pembelajaran. Akademisi (para ilmuan dan calon ilmuan) dalam rangka meningkatkan perannya memikul tanggung jawab akademik, yaitu tanggung jawab yang sebagai konsekwensi dari kedudukannya sebagai i1muan atau calon ilmuan.
Etika pada dasarnya berarti pedoman berperilaku yang terdiri atas norma-norma dan nilai-nilai yang dijadikan pegangan atau pedoman dalam menentukan baik dan buruknya atau benar dan salahnya suatu tindakan. Tentunya etika akademik menunjukkan ruang lingkup dan sifatnya yang khusus, yaitu lingkungan akademik
Etika akademik secara sederhana dapat difahami sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang semestinya diterapkan dalam perilaku setiap individu yang tergolong dalam ruang lingkup akademik. Mahasiswa, dosen dan karyawan adalah tiga pilar yang menjadi penghuni yang dinamakan dengan kampus. Sudah tentu membangun etika akademik di kalangan mahasiswa, dosen dan karyawan adalah merupakan keharusan. Etika akademik secara sistemtis dapat digambarkan dalam proses keilmuan itu sendiri. Seorang ilmuan, senantiasa dalam proses belajar yaitu mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, baik melalui transfer informasi maupun melalui penalaran dan penelitian langsung, dan senantiasa dalam proses menyumbangkan ilmunya kepada masyarakat, baik melalui publikasi, mengajar, membimbing, maupun melalui pemecahan masalah secara langsung. Dalam setiap proses ini terdapat nilai-nilai dan norma-norma akademik yang harus menjadi pedoman dalam bersikap, dan seharusnya terungkap dalam perilaku.
Akademisi dalam suatu lingkungan masyarakat adalah referensi, tempat bertanya, karena ia memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu. Masyarakat semakin membutuhkan orang yang berilmu pengetahuan, karena kompleksitas masalah kehidupan membutuhkan keahlian-keahlian tertentu untuk penyelesaiannya. Dalam hal ini, tanggung jawab seorang ilmuan adalah meningkatkan dan mempertajam keahliannya, sehingga kemampuannya memenuhi kehutuhan masyarakat semakin sempurna.
Dalam Islam memang orang Islam dituntut untuk menjalankan amanah sebagai tugasnya sesuai dengan keahlian bahkan Nabi sendiri memerintahkan untuk memberi kepercayaan ”amanah” kepada ahlinya. Tanggung jawab keilmuan berkaitan erat dengan orientasi keilmuan. Seorang ilmuan (dan calon ilmuan) seharusnya memiliki dorongan yang kuat (drive) untuk mencari dan mengembangkan ilmunya. Kehausan akan informasi keilmuan adalah ciri khas ilmuan dan calon ilmuan. Sumber informasi keilmuan itu adalah buku, termasuk jurnal dan media lainnya, dan ilmuan.
Seorang akademisi sangat menghargai sumber-sumber informasi keilmuan, baik berupa media maupun orang. Karena itulah akademisi bersifat dinamis, fair dan apresiatif. Dinamis dalam arti senantiasa berkembang pengetahuannya; fair dalam arti menerima dan mangakui perbedaan pendapat; dan apresiatif dalam arti menghargai setiap hasil temuan ilmiah. Orientasi seperti ini disebut orientasi yang ilmiah. Seorang calon ilmuan seharusnya menumbuhkan sikap dan orientasi akademik di dalam dirinya.
Di samping tanggung jawab pengembangan iImu, seorang akademisi juga mempunyai tanggung ]awab kontribusi. 1a mempunyai tanggung jawab untuk menyumbangkan ilmunya bagi kepentingan masyarakat. Ia tidak boleh menyembunyikan ilmu. Rasulullah Saw mencela orang yang tidak mau menyumbangkan ilmunya (menyembunyikan ilmu). Ilmuan mestinya mengatakan sesuatu harus berdasarkan ilmunya, harus menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Melalui tanggung jawab inilah kemudian dinamika ilmu berkembang melalui pembetulan dan penyempurnaan.
Dalam proses mencari ilmu, sebagai seorang ilmuan yang muslim sudah selayaknya menyadari bahwa ilmu, meskipun diperoleh melalui usaha, kesabaran, perjuangan dan ketekunan, itu semua sandarannya hanyalah kepada Allah dan semua itu merupakan karunia Allah Swt. Oleh karena itu, seorang akademisi Muslim memiliki rasa syukur kepada Allah atas setiap ilmu yang diperolehnya, tidak angkuh dan bersikap kaku mempertahankan suatu tesis keilmuan. llmu bersifat relatif, karena itulah seorang ilmuan bersifat dinamis dan selalu mencari, tidak pernah berhenti pada satu kesimpulan ilmiah karena yang punya kebenaran hanya satu yaitu Allah sang pencipta.
Namun apa yang terjadi kemudian bahwa etika akademik yang semestinya menjadi pilar dalam perguruan tinggi dengan tri dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, pengajaran dan pengabdian masyarakat semakin lama semakin hilang timbul. Kampus sebagai poros berkembangnya ide-ide perubahan yang memiliki peran penting dalam memformalisasi dan mengkordinasi agen-agen perubahan tersebut dalam bentuk nyata di tengah-tengah masyarakat sekaligus kampus wadah mencetak mahasiswa yang siap pakai dan berdaya guna bagi masyarakat ternyata kadang-kadang terjebak dengan masalah politik, ekonomi dan bahkan krisis tradisi ilmiah akademik itu sendiri sudah mulai pudar.Wallahu a’lam.***
Tulisan sudah Pernah di Muat di Harian Singgalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar