Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Selasa, 09 November 2010

Artikel Kabarindo

Nilai-nilai dalam Adat Istiadat Minangkabau
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen STAIN Bukittinggi)

Masyarakat adat merupakan sekelompok masyarakat yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Adat istiadat telah lama tumbuh dan berkembang serta dianggap sebagai pedoman yang mesti dipatuhi Namun demikian, seiring berjalannya zaman ternyata banyak masyarakat sudah mulai meninggalkan adat istiadatnya serta bahkan tidak tahu dan mau tau dengan adat yang ada dan dipedomani oleh masyarakat. Seolah-olah membicarakan adat sesuatu yang sudah kuno, kolot, basi dan ketinggalan zaman.
Adat dapat diartikan kebiasaan-kebiasaan atau perbuatan yang dilakukan berulang-ulang yang telah menjadi pedoman-pedoman bertingkah laku. Adat tidak kelihatan tetapi dapat dirasakan sebagai landasan untuk berbuat, landasan etika, moral maupun akhlak. Dengan demikian adat merupakan hasil kebudayaan yang bersifat immaterial.
Adat merupakan aturan bertingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai kesusilaan, nilai-nilai agama dan nilai-nilai kesopanan. Nilai kesusilaan merupakan pedoman yang bersumber dari hati nurani manusia, nilai-nilai agama merupakan pedoman yang bersumber dari ajaran agama Islam yakni Al Quran dan Hadist, sedangkan nilai-nilai kesopanan merupakan pedoman yang bersumber dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.
Bersumber dari nilai-nilai kesusilaan, nilai-nilai agama dan nilai-nilai kesopanaan akan lahirlah pedoman-pedoman bertingkah laku dalam kehidupan pribadi dan antar pribadi dalam suatu masyarakat tertentu yang disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhannya. Pedoman-pedoman bertingkah laku ini selalu dijadikan acuan untuk berbuat, sehingga lama-kelamaan ia menjadi suatu institusi dalam masyarakat. Pedoman-pedoman bertingkah laku menjadi adat tidak saja karena sudah dilakukan berulang-ulang atau kebiasaan yang sudah mentradisi tetapi yang sangat penting manakala dipakainya itu berdasarkan keinsyafan bahwa itu patut dalam arti objektif. Jadi unsur kepatutan yang primer bukan unsur kebiasaan atau kelaziman saja.
Ada hal yang harus diingat, yakni tingkah laku itu selalu berubah-ubah, selalu menjadi, mengikuti kehidupan masyarakat-nya. Tingkah laku yang kemarin masih adat, lusa atau kemudian hari boleh jadi sudah bukan adat lagi, tidak dianggap patut lagi.Sebaiknya tingkah laku yang dahulu dipandang tidak patut, mungkin sekarang atau lusa dirasakan sudah seharusnya menjadi adat karena kepatutan dijadikan pedoman bertingkah laku. Adaik dipakai baru, kain dipakai usang. Lapuak-lapuik dikajangi, usung-usung dipaparui.
Adat dapat juga diartikan dengan nilai-nilai. Setiap manusia memiliki kepentingan-kepentingan dalam rangka memenuhi segala kebutuhan-kebutuhan di dalam kehidupan mereka. Masing-masing dari mereka akan melakukan suatu tindakan atau perbuatan untuk memenuhi segala kebutuhan tersebut. Tindakan-tindakan itu pada awalnya akan berbeda-beda antara satu individu dengan individu yang lainnya, (inilah yang disebut dengan usage / Cara), walaupun dalam memenuhi suatu kebutuhan yang sama.
Setiap tindakan yang akan dilaksanakan dilandaskan kepada pertimbangan-pertimbangan yang ada pada diri masing-masingnya. Setidak-tidaknya ada dua pertimbangan dalam hal ini. Pertama, pertimbangan yang bersumber dari akal pikiran (rasio/ pareso). Akal pikiran manusia akan memberikan pertimbangan terhadap suatu tindakan apakah tindakan ini benar atau salah. Pola berfikir orang Minangkabau di samping mengunakan rasio semata juga menyandarkan kepada hukum-hukum alam (alam takambang jadi guru/ caliak contoh ka nan sudah caliak tuah ka nan manang).
Salah satu masyarakat adat yang masih tetap berpegang teguh dengan tata aturan atau moral adalah masyarakat Minangkabau. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Minangkabau sebelum datangnya agama Islam sudah hidup dengan aturan adat aslinya, kemudian masuk agama Islam membawa ajaran-ajaran tentang ibadah dan muamalah. Maka hiduplah dua ajaran kehidupan di dalam masyarakat Minangkabau. Menurut ahli Antropolgi pertemuan dua kebudayaan (minangkabau dengan ajaran Islam) akan melahirkan dua kemungkinan.
Pertama akulturasi yakni dua budaya yang bertemu itu hidup berdampingan secara damai. Kedua asimilasi yakni dua kebudayaan saling meleburkan diri sehingga melahirkan suatu budaya baru. Unsur adat Minangkabau itu terdiri dari unsur asli sebagai bagian terbesar dan masuk unsur agama sebagian kecilnya.
Keberadaan agama Islam di Minangkabau mampu mempengaruhi budaya asli minangkabau. Bahkan, hukum Islam sudah dijadikan sebagai alat untuk mengukur kebenaran adat mereka yang dikenal dengan falsafah. Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Maksudnya adalah Adat istiadat di Minangkabau didasarkan pada hukum-hukum Islam sedangkan hukum-hukum Islam berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadist-Hadist Nabi Muhammad SAW.
Masuknya unsur-unsur agama, semakin memperkuat berlakunya hukum adat sebab, menurut Amir Syarifuddin, pertama, hukum agama akan memelihara dan mengukuhkan nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai arti positif; kedua, menghilangkan dan mengikis nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai arti negative, ketiga; menimbulkan nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai arti positif yang belum ada.***
Tulisan Pernah di Kirim Ke Kabarindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar