Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Senin, 08 November 2010

Artikel Pemikiran

MEMAKNAI KEBEBASAN BERFIKIR
DALAM ISLAM
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen Pemikiran Islam STAIN Bukittinggi)

Diskursus tentang kebebasan berfikir dalam Islam selalu saja menjadi topik yang hangat serta menarik untuk didiskusikan dan diperbincangkan. Topik ini tidak akan pernah basi selagi manusia hidup dan tetap beragama maka orang akan selalu saja berdiskusi dan menggali tentang agamanya masing-masing. Munculnya bentuk-bentuk aliran /paham/kelompok/sekte/golongan/mazhab baik pada awal Islam dan pada akhir-akhir ini tidaklah terlepas dari pemikiran orang Islam akan memahami nash-nash Allah (al-Qur’an dan Sunnah). Keberadaan manusia sebagai makhluk hidup atau khalifah di muka bumi yang di bekali oleh Allah dengan akal menjadi salah satu pembeda dengan makhluk lainnya. Manusia sebagai hewan yang berfikir senantiasa menggunakan akalnya untuk hidup dan beragama. Agama Islam sebagai agama langit yang diturunkan Allah dengan ajarannya/wahyu yang di bawa oleh Rasul juga menjadi pedoman dasar bagi manusia untuk membina kehidupan di bumi.
Penggunaan akal memang sangat dibutuhkan untuk memahami agama. Dalam hadis Rasulullah juga disebut bahwa agama adalah bagi orang yang beraqal dan tidak ada agama bagi orang yang tidak punya akal atau menggunakan akalnya. Di dalam syari’at orang yang tidak punya akal seperti orang gila, mabuk, tidur tidak dapat beban hukum atau taklif karena dianggap tidak punya akal atau akalnya tidak berfungsi. Dalam al-Qur’an banyak sekali bahkan berulang-ulang disebut supaya manusia menggunakan akalnya atau berfikir seperti ’afala ta’qilun, ’afala tafakkaruan,dan kata ulul albab. Sehingga memang posisi akal sangat menentukan untuk bisanya seseorang dalam memahami agama. Karena ajaran agama Islam tidak cukup hanya mengikut saja (taqlid) tanpa tahu dasar dan sumbernya apalagi sudah menjurus pada taqlid buta.
Fenomena keberagamaan masyarakat Indonesia pada umumnnya memang masih berada pada posisi taqlid. Sebutan dengan istilah Islam Warisan, Islam Keturunan, Islam Ayah Ibu, Islam KTP dan Islam lainnya menunjukkan bahwa kecerdasan beragama serta kemauan untuk belajar agama masih sangat rendah. Lintasan sejaran panjang perkembangan dunia Islam yang pernah mengalami masa jumud dan taqlid seolah-olah membekas pada pola beragama masyarakat Islam yang hanya ”memadakan” apa yang sudah didapat dari orang tua atau belajar mengaji di surau dulu atau apa kata ustaz.
Namun di sisi lain memang banyak juga yang tafaqahu fiddin dari orang Islam untuk melakukan kajian dan pakar tentang Islam. Masalahnya yang muncul kemudian adalah ketika dalam mempergunakan akal yang diberikan Allah. Ada orang yang tetap berpegangan terlebih dulu akan ketentuan umum yang sudah disepakati dan ada juga yang melampaui batas dari mengunakan akalnya sehingga tidak mau tau dengan aturan yang sudah ada atau terdahulu. Dimana pemikiran yang digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah kadang kala tidak pas digunakan dan ada yang melampaui batas. Apakah dikarenakan ketidaktahuan ataukah sengaja untuk melakukan.
Di tengah-tengah masyarakat kita masih ada yang menafsirkan ayat al-Qur’an dengan seenaknya tanpa mau terikat dengan acuan baku yang sudah ada dalam ilmu tafsir, mengamalkan ibadah yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah tanpa mau untuk belajar dengan anggapan seolah-olah yang diamalkannya sudah pasti benar serta banyak juga ulama-ulama/ustaz kita yang baru mengerti kulit-kulit saja dari agama sudah mengaku tahu isi agama seluruhnya dan berbagai kreasi lainnya.
Kebebasan berfikir dan kewajiban melahirkan pemikiran-pemikiran cemerlang memang sering kali berakibat terciptanya akan kelompok-kelompok/aliran/sekte/mazhab. Hal ini tak terelakkan dengan keharusan mempertahankan kesatuan umat Islam. Mendamaikan keduanya makin dipersulit oleh pemahaman bahwa semua teori atau pikiran orang Islam dapat dianggap sebagai pandangan yang terlegitimasi oleh para penganut agama. Yang lebih bahayanya bahkan pola pikir dan pandangan para penganut agama yang terdahulu tersebut justru itu dianggap sebagai ajaran agama yang mesti diikuti. Padahal agama Islam bersifat fleksibel dan komprehensif dengan mencakup semua aspek dan sisi kehidupan.
Sejarah perkembangan Islam mencatat upaya-upaya mencari jalan keluar atau solusi untuk memberikan ruang lingkup atau lapangan bagi kebebasan berfikir yang dapat merumuskan teori-teori baru. Namun di sisi lain bahwa usaha untuk memahami agama dengan pencerdasan otak tentu selalu akan terbentur dengan dogma-dogma agama yang sudah baku. Akibatnya mesti ada solusi yang cerdas dan bijak untuk berada dalam posisi tengah dalam pola berfikir yang tidak terlalu bebsa dan kaku.
Pada tataran inilah kemudian bahwa mesti ada kesamaan pandangan akan keterbatasan akal/otak manusia yang selalu saja tidak akan mampu untuk menjangkau akan makna-makna yang ada dalam setiap maksud dan tujuan dari setiap ayat-ayat Allah. Dalam hukum Islam (fiqh) contohnya tentu seorang mujtahid tidak akan bisa atau sampai untuk menangkap seluruhnya dari apa maksud dan tujuan yang tersirat, tersurat, tersyuruk maupun terseret dari suatu hukum. Maka akal manusia hanya bisa untuk mengungkap akan hikmah-hikmah atau mau’izah dari setiap kasus hukum yang muncul atau yang ada. Begitu juga mesti ada pemahaman bahwa ayat-ayat al-Qur’an itu ada yang qath’i dan zhanni, muhkam dan mutasyabih.Pada kawasan atau ranah manakah akal bisa bermain. Ini perlu menjadi catatan bagi orang yang sudah melampaui batas dalam penggunaan akal dalam memahami agama Islam dan cendrung bergamanya sudah sesat. Di sebabkan aturan pokok dalam agama terlanggar.
Sehingga jangan hendaknya kawasan yang tidak bisa dimasuki akal kemudian tetap dipaksakan untuk bisa dimasuki. Jadi memaknai akan kebebasan berfikir dalam Islam tetap saja akan terikat dengan rambu-rambu yang sudah ada. Antara wacana dan substansi agama tetap dipisahkan. Walaupun untuk memahami agama jangan terlalu sempit dan statis dan jangan terlalu luas dan fleksibel sehingga hal-hal yang pokok/substansi agama hilang di sebabkan karena terlalu bebas berfikir untuk memahami agama. Islam sebagai agama pembebasan mesti juga dipahami pada tataran tertentu. Wallahu a’lam.***
Tulisan Sudah Pernah di Muat di Harian Singgalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar