Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Jumat, 10 Desember 2010

Islam Kiri

MELACAK AKAR ” ISLAM KIRI” DI INDONESIA
ADLAN SANUR TH,M.Ag
Penulis adalah Dosen Stain Bukittinggi

Istilah ”Islam Kiri” masih belum lazim atau biasa bahkan dianggap tidak pas penggunaannya dalam meneropong kondisi pergerakan Islam di Indonesia dan mungkin atau bisa saja istilah ini salah letak dan tempat digunakan dalam melihat peta tipologi pergerakan Islam di Indonesia. Sebab pemaknaan yang dipakai atau dibangan oleh Penulis bisa saja kemudian tidak sama dengan makna yang dipakai oleh pembaca tulisan ini atau penulis-penulis lainnya di Indonesia.
Karena istilah Islam Kiri ini belum begitu populis di dalam perbendaharaan kata ataupun kosa kata Indonesia apalagi dalam tipologi atau peta keragaman pemikiran di Indonesia seperti adanya istilah yang dipakai, katakanlah itilah Islam Rasional, Islam Tradisional, Islam Modernis, Islam Transformatif, Islam Aktual, Islam Liberal, Islam dan pembagian Islam lainnya, namun menurut penulis untuk sementara istilah ini dipakai saja dulu dalam tulisan ini walaupun akan memunculkan interpretasi yang tidak akan sama nantinya, karena kalau ada kiri Islam tentu akan ada kanan Islam.
A. Islam Kiri dan Hasan Hanafi
Istilah kiri Islam mulai dipakaikan dan dipopulerkan oleh tokoh intelektual Mesir Hasan Hanafi. Hanafi sebagai tokoh public belum begitu dikenal di Indonesia. Hanafi masuk dalam bursa wacana pemikiran Islam di Indonesia pada dekade 1990-an ketika Ia menyentak publik Muslim Indonesia dengan salah satu karya terjemahannya ”Kiri Islam”. Karya Hanafi ini pada dasarnya ingin menegaskan bahwa Islam sesungguhnya sebuah agama kebebasan, seperti mirip teologi pembebasan. Agama Islam yang membebaskan ini itulah yang membuat Hanafi berkesimpulan bahwa Islam sesungguhnya agama Tuhan yang bersifat ”kiri” adanya. Tidak hanya itu, bagi Hanafi semua agama yang berwatak membebaskan bersifat kiri adanya. Watak kekirian itu menurut Hanafi tidak ada kaitan apapun dengan ideologi Barat Kontemporer seperti marxisme, sosialisme dan komunisme.
Beranjak dari kacamata Istilah yang dipakaikan Hasan Hanafi maka ”kiri Islam” yang dimaksud penulis adalah kelompok-kelompok yang keras untuk memperjuangkan sistem kekhalifahan Islam yang relatif menerapkan syariat Islam. Karena salah satu nafas yang menggerakkan para aktifitas Islam adalah latar belakang sejarah Islam yang pernah gemilang, maju dan berwibawa. Umat Islam pernah memimpin peradaban dunia selama tujuh abad. Dengan istilah ”kiri Islam” inilah penulis ingin menjadikannya alat bantu dalam meneropong tentang pergerakan Islam Kiri di Indonesia, yang mana penulis tidak mau memakaikan istilah gerakan radikalisme atau fundamentalisme yang sudah ada karena kedua istilah ini cendrung dipakaikan kepada kelompok terorisme yang pada akhir-akhir ini sering dibahas pada forum ilmiah, seminar ataupun menjadi momok tersendiri bagi aparat kepolisian. Walaupun di sisi lain tidak dipisahkan antara Kiri Islam dengan Islam Garis Keras atau Islam Militan atau Islam Radikal. Namun pemakaian istilah ini tentunya sangatlah berbeda satu sama lain.
B. Pelacakan Akar Sejarah Kiri Islam di Indonesia
Kalau dilacak akar dari munculnya pergerakan Islam di Indonesia maka mau tidak mau faktor eksternal yang muncul di luar wilayah Indonesia tidak bisa dipisahkan. Bila dilihat kaitan antara gerakan kiri Islam di Timur Tengah dengan gerakan militan Islam di Indonesia melalui beberapa aspek, yaitu tokoh, ideologi, metode pembinaan dan organisasi memang agak berbeda akan tetapi secara ikatan hubungan emosionla tentu akan selalu ada oleh sebab itu sebagaimana penulis sampaikan tadi bahwa ada benang merah yang menghubungkan antara jaringan Islam di Indonesia dengan yang ada di luar Indonesia katakanlah seperti munculnya gerakan Ikhwanul Muslimin, gerakan Wahabiah, Gerakan pembaharuan yang dimunculkan oleh Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan gerakan-gerakan lainnya.
Munculnya gerakan Islam Kiri di Indonesia mungkin sama tua atau lebih tua dibandingkan sejarah republik ini. Sebab, eksistensi Islam di tanah air jauh lenih awal dibandingkan sejarah Republik Indonesia. Dalam konteks ini setidaknya bisa kita lihat berlansungnya perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda di abad ke-19. Sejarah mengingatkan kita, perlawanan Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Teuku Umar dan Daud Beurueh yang pada dasarnya bisa dipandang sebagai gerakan umat Islam melawan kekuasaan kolonial Belanda.
Pada bagian lain, politik aliran juga mempengaruhi wajah dan perkembangan Islam di Indonesia. Antropolog Cliiffor Geertz, membangun teori tentang trikotomi aliran politik di Indonesia, khusunya Jawa, yakni santri, priyayi dan abangan. Secara kategoris golongan santri merujuk kepada kelompok masyarakat Islam yang taat menjalankan agama. Golongan priyayi (elit tradisional jawa) dan abangan (rakyat jelata) merujuk kelompok yang kurang taat menjalankan agama meski mereka beragama Islam. Pola aliran ini telah hidup jauh sebelum Indonesia merdeka, sebagai bentuk tradisonalisme politik di negeri ini yang kemudian menggelinding menjadi satu kekutan politik Islam.
C. Hubungan Kiri Islam dengan Organisasi Islam
Pada tahun 1912 berdiri organisasi Syarikat Islam(SI) yang sebelumnya bernama Serikat Dagang Islam (SDI). SI dengan tegas berhaluan politik. Tapi tahun 1920 SI pecah menjadi dua, yaitu SI Merah yang akhirnya menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SI Putih yang tetap dalam garis Islam serta pada akhirnya menjadi Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Sejak masa kolonial telah muncul polemik antara golongan nasionalis dan Islam. Golongan nasionalis yang dipimpin oleh Soekarno, sedangkan golongan Islam dipimpin oleh H.O.S Cokromaminoto. Perdebatan ini terus berlangsung pada panitia persiapan kemerdekaan. Isu utamanya mengenai landasan ideologi yang akan dipakai oleh Indonesia jika negeri ini merdeka. Golongan nasionalis menginginkan dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Golongan Islam menghendaki negeri ini berdasarkan pancasila. Setelah mengalami perdebatan panjang akhirnya dicapai kesepakatan yang disebut dengan piagam Jakarta (Jakarta Charter). Gerak sejarah ternyata tak selalu berjalan linear. Setelah ”gentelemen agreement” yang bersejarah itu, tiba-tiba golongan kristen, khususnya dari Indonesia Timur mengkhawatirkan implikasi pencantuman ”tujuh kata” tersebut.

D. Kiri Islam dan Politik
Kegagalan politisi Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara menciptakan kekecewaan yang mendalam bagi kelompok-kelompok Islam. Hanya tiga tahun setelah kemerdekaan RI diproklamirkan pada tanggal 7 Agustus 1948, kelompok Darul Islam (DI) dibawah pimpinan S.M. Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII). Sejak saat itulah perlawanan DI/TII terhadap pemerintah RI berkobar di mana-mana, tidak hanya di Jawa Barat, tapi juga Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Aceh walaupun pemerintah akhirnya bisa meredam dalam waktu yang sangat panjang.
Memasuki masa demokrasi Parlementer1950-an perjuangan politik Islam bergeser ke tataran partai. Kelompok-kelompok politik sedikit beruntung, karena demokrasi parlementer memungkinkan partai-partai dengan berbagai latar belakang, termasuk komunis, berdiri dan ikut pemilu. Muncul harapan besar, jika partai Islam menang dalam pemilu demokratis, kehendak menformalisasi syarita Islam bisa diwujudkan secara konstitusional. Pada saat itu, politik Islam sebenarnya diwakili dua kelompok besar yaitu NU mewakili kelompok tradisionalis dan Masyumi dari kelompok modernis.
Dekrit presiden menjadi titik balik (turning point) sejarah demokrasi di Indonesia. Sebab, presiden tak hanya kembali ke UUD 1945, tapi juga membubarkan konstituante. Secara keseluruhan, politik Islam tiarap pada masa demokrasi terpimpin. Akhirnya memang posisi politik Islam betul-betul berada pada titik nadir.
Pada awalnya ada harapan rakyat tinggi terhadap Soeharto akan membawa keadaan politik bangsa menjadi lebih baik. Tapi, sejak awal-awal perjalanannya, watak dasar rezim ini sudah mulai kelihatan. Setelah berhasil menumbangkan kekuatan Komunis dan Demokrasi Terpimpin dengan kekuasaan militer, kekuasaan orde Baru kemudian membangun kekuasaan despotik. Sebagaimana kekuasaan despotik yaitu dengan menanamkan ”indoktrinasi” kepada rakyat tentang bahaya yang mengancam negara. Di satu sisi, ancaman itu datang dari apa yang mereka sebut ”ekstrem kiri” (komunis). Di sisi lain ada bahaya ”ekstrem kanan” (Islam). Kedua kelompok ini menurut Soeharto sama bahayanya.
Indikasi ketidakharmonisan hubungan Islam dan negara tersebut dimulai ketika munculnya kehendak merevitalisasi partai politik Masyumi ditolak pemerintah Orde Baru. Kelihatan sekali bahwa pemerintah sangat khawatir dan sekaligus mencurigai kembalinya Masyumi dalam pentas politik akan menggerogoti rezim yang sedang bekuasa. Walaupun pemerintah kemudian mengizinkan terbentuknya Parmusi, sebagai alternatif, pada dasarnya kebijakan ini tak lebih sebagai kooptasi negara terhadap kekuatan sosial politik Islam. Para pengurusnya telah disterelisasi dari pengaruh Masyumi lama dan tokoh-tokoh Masyumi lama dikebiri. Jauh kemudian gerakan-gerakan yang ada di Indonesia menjelma dalam berbagai bentuk ada yang jadi gerakan-gerakan sosial dan ada yang menjadi gerakan politik. Yang menjadi gerakan politik seperti PKS. Yang menjadi gerakan sosial dan dakwar amar ma’ruf nahi mungkar seperti, MMI, IKMI, Laskar Jihad, HTI dll. Wallahu a’lam bissawab