Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Rabu, 10 November 2010

Artikel Ormas Islam

Ormas Islam dan Pemilihan Kepala Daerah
Oleh Adlan Sanur Th
Pemilihan kepala daerah sudah semakin dekat. Tabuh genderang persaingan menujuk puncak kekuasaan sudah dimulai. Berbagai kegiatan berbau ke-Islaman mulai digelar dalam rangka menarik simpatik masyarakat sudah mulai diadakan. Berbagai penamaan yang diberikan seperti silaturrahmi, tabligh akbar, ceramah agama, pengajian agama dan peringatan hari besar Islam. Kegiatan yang sebelumnya agak jarang diadakan namun akhir-akhir ini menjadi pemandangan yang sudah biasa. Para kandidat (baca calon walikota/Bupati) selalu saja menolak acara tersebut berbau kampanye.
Memang disadari ataupun tidak dengan digelarnya model pemilihan kepala daerah secara langsung membawa dampak serius terhadap perilaku politik elit agama (baca ulama) di tingkat lokal. Para aktor politik lokal tiba-tiba mendapatkan arena bermain cukup luas untuk menyalurkan bakat politik mereka secara bebas. Tampilnya para kandidat calon-calon kepala daerah di arena pilkada langsung, pada akhirnya harus menyeret berbagai kekuatan elit agama lokal yang memiliki basis massa yang kuat. Organisasi keagamaan menjadi ladang potensial untuk direbutkan para kandidat kepala daerah.
Kegagapan ulama di tingkat lokal terlihat dengan terjadinya pola-pola koalisi yang melibatkan agama dalam kekuatan politik dengan ideologi yang sangat berbeda. Hal ini mencerminkan ketidakpastian posisi ulama dalam mensikapi berlangsungnya model pemilihan langsung. Demikian juga mengalirnya dukungan elit agama terhadap kandidat tertentu yang tidak bersinggungan dengan basis keagamaan mereka, memperlihatkan betapa lemah dan fregile-nya pemahaman elit agama terhadap posisi strategis mereka sebagai orang yang dipercaya untuk mengurus agama di tingkat lokal. Hal inilah yang kemudian membawa sebahagian ulama kepada tarikan kepentingan dan orientasi politik jangka pendek dalam proses-proses transaksi politik yang ditawarkan oleh kandidat. Akhirnya para ulama bisa saja kemudian dijadikan sebagai ”ayam sembelihan” yang disajikan sebagai penghias hidangan ketika ada pesta hajatan.
Banyaknya ormas Islam dan para elitnya yang ikut bermain dan bahkan dipermainkan cenderung diperlakukan hanya sebagai obyek calon-calon kepala daerah yang tidak memiliki basis organisasi keagamaan. Model mobilisasi dukungan, baik secara individual maupun kelembagaan masih terus digunakan, dengan asumsi adanya rasionalitas individu berjalan linier dengan rasionalitas lembaga. Akan tetapi pada saat ini perkembangan politik di berbagai daerah dan semakin majunya tingkat pendidikan serta derasnya arus informasi membuktikan bahwa pilihan politik individu tidak lagi berbanding lurus dengan orientasi politik organisasi keagamaan. Klaim pimpinan organisasi akan adanya dukungan dari basis massa yang dipimpinya ternyata tidak sepenuhnya diikuti oleh seluruh anggota dari organisasi keagamaan tersebut.
Adanya anggapan akan mobilitas warga suatu ormas keagamaan ternyata tidak terbukti. Justifikasi akan calon kepala daerah mewakili dari ormas keagamaan tertentu ternyata mendapatkan suara sangat kecil dibandingkan dengan suara yang dimiliki gabungan partai politik yang mencalonkan. Di atas kertas seolah-olah calon kepala daerah tersebut sudah punya dukungan bahkan diminta oleh ormas keagamaan tersebut ternyata pada pemilihan warga organisasi keagamaan tersebut punya pasangan lain yang dijagokan.
Tentu saja hal ini menjadi pelajaran bagi calon-calon kepala daerah yang akan bertarung pada tahun 2010 ini. Bagi organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan (baca Islam) untuk kembali kepada khittah awalnya. Pemilihan kepala daaerah yang semakin dekat termasuk di Kota Bukittinggi hendaknya berjalan sesuai dengan nilai-nilai demokarasi. Semoga***.
Tulisan ini Sudah Pernah di Muat di Harian Haluan Sumatera Barat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar