Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Selasa, 09 November 2010

Artikel Majalah Koordinat

Hukum Islam dan Perubahan Sosial
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen Pemikiran Islam STAIN Bukittinggi)

Hukum Islam memiliki sumber utama berupa wahyu dari Allah (al-Qur,an dan perkataan, perbuatan serta ketetapan Nabi (Hadis atau sunnah), yang membeda-bedakannya dengan produk hukum atau perundang-undangan lainnya yang merupakan hasil hasil ciptaan manusia semata. Hukum Islam tidak bisa dipisahkan dari tujuan diturunkannya agama Islam itu sendiri yaitu untuk menjaga dan memberikan kemaslahatan bagi kehidupan manusia dalam rangka mengangkat martabat kemanusian sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam perkembangan berikutnya hukum Islam harus berhadapan dengan realitas tuntunan umat Islam sebagai subyek dan sekaligus obyek hukum. Dari hal ini timbul masalah kemudian, terutama ketika hukum Islam tidak mampu “berpacu” dengan tuntutan baru masyarakat di serba modern ini. Dimana banyaknya masalah yang mesti dijawab oleh hukum Islam. Sementara kasus-kasus yang muncul dan sering ditanyakan oleh masyarakat kepada faqih (baca ahli hukum) itu mesti segera untuk dijawab kalau tidak kasus hanya berlalu begitu saja dan masyarakat semakin bingung kemana tempat untuk bertanya.
Bahkan kalau bisa dikatakan dalam kata yang ekstrem hukum Islam sedang menghadapi dilema saat ini andaikan tidak memberikan solusi terhadap masalah yang muncul dan berbeda para ahli dalam memberikan tanggapan atas masalah yang ada. Justru memang keampuhannya sangat tergantung pada kemampuannya merespon tuntunan tersebut. Inilah yang kita maksud dari hukum Islam berada dalam posisi di tengah atau dipersimpangan jalan.
Pilihan antara wahyu dan akal merupakan problem yang menghadangnya. Kaum Islam ortodoks menekankan pada wahyu, tetapi kaum modernis menekankan perlunya menafsirkan al-Qur’an secara rasional. Terjadi pemahaman yang berbeda dan aliran yang tidak sejalan dalam melihat realitas hukum Islam. Jawaban yang akan diberikan, dengan marji’ kepada al-Qur’an secara zhahir nash atau perlu untuk melihat kondisi, sosiologi, historys dan aspek lainnya untuk memberikan jawaban.
Suatu pilihan antara tekstualistik dan kontekstualistik/rasionalistik sulit ditentukan. Kesulitan itu bukanlah hal yang baru. Pada fase formatif Islam pun telah jauh banyak berkembang aliran dalam Islam kalau bisa disebut mazhab. Munculnya madrasah/aliran ahl ra’yu dan ahl hadis membuktikan telah terpolanya pemahaman ulama dalam menginterpretasi hukum Islam. Implikasinya terhadap pengikut pendapat tersebut yang sebahagian pengikut membuat pula formulasi baru (baca aliran baru pula). Perbedaan pendapat biasa saja justru di sisi ini Islam kaya akan khazanah intelektual para ulama. Tetapi tetap saja jalan pemecahannya dicari dari sumber utama.
Salah satu yang menimbulkan banyaknya aliran hukum Islam yang muncul adalah disebabkan makin sulitnya sumber primer ditemukan (baca kitab kuning). Di sisi lain tuntunan pengembangan hukum merupakan keharusan sejalan dengan kian mekarnya persoalan yang dihadapi umat. Terlalu rigid dan statis memegang nash dikhawatirkan akan menghilangkan kontekstualitas hukum Islam, sebaliknya terlalu berani menggunakan rasio jangan-jangan menyimpang dari maksud dan tujuan kandungan nash. Dari sini memang kajian terhadap hukum Islam menjadi menarik, karena ada ruang untuk berdiskusi dan berpolemik.
Tapi tetap saja dalam kerangka untuk merespon terhadap tuntunan persoalan umat yang menumpuk. Hukum Islam yang berlaku sesuai dengan perkembangan masa dan tempat. Sehingga perbincangan pemikiran filosofis tentang hakekat hukum baik dari dimensi transenden dan dimensi kemanusian yang ditemukan dari berbagai buku sistem hukum non-agamis bisa dijawab. Sebab kedua aliran tersebut melakukan kajian hanya menjurus pada apologi bagi masing-masing pendukungnya. Hukum Islam yang selama ini dipandang negatif oleh para orientaslis sebenarnya hanyalah akibat ketidak tahuan dan kesalahan metode mereka dalam memahami hukum Islam tersebut.
Para orientalis hanya memihak kepada perubahan yang selalu terjadi dalam hukum Islam. Karya-karya yang mereka sajikan hanya untuk menambah bahan bakar guna menyulut untuk menentang para penganut paham ortodoks. Tidak ada landasan tengah antara wahyu dengan akal. Para orientalis hanya menekankan wewenang akal (ra’yu) semata dan perkembangan nilai yang bebas. Suatu kenyataan yang kritis bagi Islam dan hukum Islam jika harus memilih satu di antara du alternatif antara wahyu dan aqal. Namun tetap saja bagi fuqaha’ mesti memahami adanya pemahaman sekaligus aliran yang belum sepakat dalam memahami hukum Islam sampai saat ini. Perbedaan yang terjadi selagi tidak lari dari tujuan dan maksud nash tetap saja bisa dimaklumi. Sebab mengutip pendapat Buya Ma’ana Hasnuti seorang pengajar senior di masa fakultas Syari’ah Bukittinggi dulu menyampaikan setidaknya untuk memahami nash itu banyak sekali makna-makna yang terdapat di dalamnya. Baik makna tersurat, tersirat, tersyuru’ dan terseret dari hukum Islam tersebut.
Berbeda pendapat sekali lagi, itu biasa selagi sumber utamanya kembali kepada al-Qur’an. Justru dengan banyaknya pemahaman yang berbeda akan memperkaya pendapat. Posisi hukum Islam pada persimpangan jalan hanya untuk melihat jalan mana yang lebih pas dan bisa saja antara satu pendapat dengan pendapat lain tidak sama namun sejalan dalam bahasa yang lazim dipakai istinbath hukumnya yang berbeda. Wallahu a’lam. ***
Tulisan Pernah dimuat di Koran Kreatif Bukittinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar