Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Senin, 08 November 2010

Opini Kitab Kuning

Nasib Kitab Kuning Kini
Adlan Sanur TH, M.Ag
(Dosen STAIN Bukittinggi)
Salah satu tradisi agung ”great tradition” dalam lembaga pendidikan di Indonesia adalah tradisi pengajaran Agama Islam. Tradisi pengajaran yang dimaksud adalah pentransmisian nilai-nilai Islam sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Pesantren, surau, pondok, suluk, pengajian khusus dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya merupakan tempat diskusi dan belajar membaca sekaligus pentelaahan terhadap naskah-naskah atau kitab-kitab klasik. Kitab-kitab ini dikenal di Indonesia sebagai kitab kuning (Bruinessen, 1999:17). Bisa dikatakan antara kitab klasik dengan lembaga pendidikan yang ada waktu itu ibarat dua sisi mata uang yang sulit untuk dipisahkan.
Menurut Azyumardi Azra, kitab kuning adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa arab, Melayu, Jawa atau bahasa-bahasa lokal lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh ulama Timur Tengah, juga ditulis oleh ulama Indonesia sendiri. Pengertian ini merupakan perluasan dari terminology kitab kuning yang selama ini, yaitu kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab, menggunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan para pemikir muslim lainnya di masa lampau- khususnya yang berasal dari Timur Tengah (Azra, 2000:111). Bagi masyarakat awam bahwa kitab kuning adalah kitab yang ditulis pada kertas yang berwarna kuning sehingga dijuluki menjadi kitab kuning. Dalam dunia pesantren, kitab kuning juga kerapkali disebut dengan kitab klasik atau kitab kuno (al-kutub al-qadimah). Kitab kuning juga bisa disebut dengan “kitab gundul”, karena bentuk-bentuk hurufnya kadang tanpa disertaka sandangan (syakl).
Di Sumatera Barat persentuhan dengan kitab kuning bukanlah hal yang baru. Sejak berdirinya surau berdiri dan berkembang serta mapan sebagai institusi pendidikan maka momentum tradisi kajian kitab kuning terjadi. Ditambah lagi berdirinya lembaga-lembaga pendidikan secara format dengan system klassikal seperti Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung, Thawalib Padang Panjang dan Diniyah Padang Panjang di berbagai tempat, membaca dan kajian terhadap kitab kuning menjadi menu proses pembelajaran sehari-hari.
Selain itu kitab kuning memang memiliki peran strategis di dalam transformasi ilmu. Ia merupakan referensi tunggal paling dini dalam tradisi intelektual Islam nusantara karena dokumentasi keilmuan Islam kebanyakan berbahasa Arab. Husein Muhammad mengatakan bahwa kitab kuning sebagai pedoman berpikir dan bertingkah laku bagi peserta didik waktu itu. Kitab kuning dianggap merupakan formulasi final dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ia ditulis oleh para ulama dengan kualifikasi ganda: keilmuan yang tinggi dan moralitas yang luhur. Kitab kuning ditulis dengan mata pena atau jari-jari yang bercahaya (Husein Muhammad, dalam Marzuki Wahid, dkk [ed], 1999:270).
Pada saat ini ada kegalauan sekaligus keprihatinan terhadap kitab kuning , di saat perkembangan dan kemajuan teknologi-industri yang memaksa kebanyakan manusia untuk “mengkonsumsi” bacaan-bacaan ilmiah maka kajian sekaligus membaca kitab kuning terasa mulai sudah ditinggalkan. Selain faktor di atas juga faktor paradigma awal bagi yang ingin membaca kitab kuning sudah tertanam pandangan bahwa membaca kitab kuning itu sulit sehingga makin lama makin ditinggalkan dan beralih kepada “kitab putih”. Memang membaca kitab kuning dibutuhkan keterampilan serta ketekunan. Karena menurut Nurcholish Madjid karya-karya klasik/ manuscript mempunyai gaya bahasa dan sistematika tersendiri, yang terasa asing bagi orang mutakhir (Madjid, 1994:vii).
Salah satu kebanggaan masyarakat memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti Thawalib, MTI., Pesantren dan Diniyah adalah supaya punya bekal ilmu agama dan bisa untuk mengkaji ke dalam sumber-sumber asli yang selama ini dipahami yaitu terdapat dalam kitab kuning. Masalahnya kemudian apakah lembaga-lembaga ini sudah berhasil mencetak para siswanya untuk minimal mampu membaca kitab kuning walaupun semua buku pegangan pelajaran agama Islam adalah semua berbahasa arab. Berapa persen mereka yang menguasai kitab-kitab klasik setelah lulus dari sekolah masing-masing? Ataukah metoda yang dipakai selama ini untuk mengajarkan menguasai bahasa Arab yang salah. Sejak kecil kita bahkan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Agama Islam yang melanjutkan ke PTAI sudah diajarkan untuk berbahasa Arab namun yang pandai membaca kitab-kitab klasik ini terasa sulit. Tentara Amerika sebelum dikirim ke perang Irak mereka dilatih dulu untuk berbahasa Arab selama hanya setahun. Setahun itu mereka sudah mampu untuk menguasai bahasa Arab. Menguasai bahasa arab tentunya adalah menulis, membaca, dan berbicara bahasa Arab.
Tidaklah salah kalau akhirnya kitab kuning hanya tinggal cerita lama bagi mereka yang mengecap pendidikan di lembaga-lembaga tadi. Buku nyaris tidak tersentuh lagi. Pada perpustakaan hanya menjadi koleksi saja tanpa pernah disentuh. Ketika mendengar kitab kuning lansung muncul alergi bagi siswa maupun mahasiswa yang mendengar padahal gudang ilmu terletak pada buku itu. Sehingga pada masa modern ini penguasaan akan naskah-naskah klasik apalagi bagi mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam sangat jauh tertinggal. Inilah salah satu problem mendasar yang dialami oleh Perguruan Tinggi Agama Islam pada saat ini menurut Abdurrahman Mas’ud. Dimana lemahnya kompetisi para alumnus ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi pada universitas terkemuka di luar negeri dan juga ketika para alumni berhadapan di tengah-tengah masyarakat (Rahman, 2007:xxxix). Padahal secara kasat mata paradigma masyarakat selama ini Perguruan Tinggi Islam sudah punya investasi Sumber Daya manusia untuk mampu membaca kitab kuning. Inilah buah pemikiran untuk renungan bersama bagi pecinta ilmu***
Tulisan sudah Pernah di Muat di Harian Singgalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar