Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Senin, 08 November 2010

Opini Kesalehan

KESALEHAN INDIVIDU MENUJU KESALEHAN SOSIAL
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
( Dosen STAIN Bukittinggi)

Makna kekudusan hidup sebenarnya bukan hanya dilihat dari kesalehan individu tetapi tercermin dalam kesalehan sosial. Inilah yang selalu digelitik dan dikritik oleh Ketua Umum PP. Muhammadiyah Prof. DR.H. M.Syafi’i Ma’arif, M.A terhadap umat Islam. Bahkan seringkali diulang-ulang dalam berbagai kesempatan, bahwa masyarakat Indonesia banyak saleh secara individu akan tetapi kesalehan individunya itu tidak membekas kepada kesalehan sosial. Orang saleh hanya secara individu atau ketika dalam melakukan ibadah rutinitas namun secara sosial tidak memberikan warna apa-apa dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalehan individu seolah-olah tidak ”menggarami” terhadap prilaku di tengah-tengah masyarakat. Justru yang lebih membuat kita riskan adalah bahwa adanya pemisahan antara agama dengan kehidupan sosial. Seolah-olah agama hanya untuk agama dan masyarakat lain lagi.
Mengutip apa yang diurai dan ditulis oleh Walikota Tangerang Wahidin Halim dalam bukunya ”Piagam Akhlakul Karimah, Meretas Jalan Masyarakat Madani” (Jakarta: 2006) bahwa dalam perspektif Islam perbuatan yang baik serta masuk dalam kategori ibadah ada 4 (empat) macam/jenis. Pertama; Ibadah yang hanya dapat dilaksanakan oleh orang perorang atau individu tanpa dapat diwakilkan contohnya mengucapkan dua kalimat syahadat, sholat dan puasa. Apabila ibadah ini dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan disebut memperoleh kesalehan individu. Kedua; Ibadah yang dapat dilakukan melalui 2 (dua) orang yaitu ibadah pernikahan. Dengan pernikahan tindakan melakukan reproduksi menjadi pahala, tetapi apabila dilakukan tanpa pernikahan menjadi dosa. Melalui pernikahan berarti membina keluarga dengan mencari nafkah dan mendidik nmenjadi keluarga yang beriman dan bertakwa. Apabila ibadah ini dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan meningkat dari kesalehan individu menjadi kesalehan keluarga.
Ketiga; Ibadah yang dapat dilakukan antar keluarga, contohnya dengan saling membagi menunaikan zakat. Apabila ibadah ini dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan meningkat dari kesalehan keluarga menjadi kesalehan masyarakat. Keempat; Ibadah yang dapat dilakukan antar masyarakat dalam mengelola lingkungannya. Apabila ibadah ini dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan meningkat dari kesalehan masyarakat menjadi kesalehan berbangsa dan bernegara.
Dari berbagai kesalehan di atas setidaknya bisa di bagi dua saja yaitu kesalehan individu dan kesalehan sosial. Kesalehan individu, dalam pandangan Wahidin, menjadi sangat penting karena akan memiliki vibrasi kesalehan sosial. Jika tiap pribadi memegang teguh prinsip-prinsip kesalehan -- beriman, bertutur santun, lapang dada, dan banyak berbuat kebajikan bagi orang lain -- maka akan berimbas positif bagi masyarakat, sehingga akan terbentuk kesalehan sosial.
Memang kenyataan keberagamaan mayoritas bangsa Indonesia banyak saleh secara individu atau pribadi tapi tidak berimbas kepada kesalehan secara sosial kemasyarakatan. Sebagai contoh lihatlah banyaknya bangsa Indonesia yang berduyun-duyun naik haji ke Mekah dengan dalih melakukan ibadah atau rukun Islam. Muslim yang melakukan haji tersebut ada yang sudah berulang-ulang kali bahkan sampai ada yang sepuluh kali. Padahal kenyataan masyarakat di sekitarnya termasuk tetangga yang sebelah rumahnya ada yang tidak mencukupi kebutuhan hidupnya untuk makan sehari. Ada yang anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikan karena ketidak cukupan biaya.
Yusuf Qhardawi seorang tokoh pemikir Islam dalam bukunya ”Fiqh Prioritas” memberikan pandanga-pandangan dan pendapat tentang prioritas Ibdaha. Antara kepentingan individu dan kepentingan umat atau masyarakat. Memang mesti ada yang didahulukan atau prioritas utama dalam beribadah seperti ibadah haji di atas. Tentunya lebih didahulukan membantu orang fakir miskin yang ada di sekitarnya dan itu lebih maslahat.
Meski diakui di tengah-tengah masyarakat Islam paradigma saleh itu adalah ibadahnya yang banyak atauy shalatnya lama. Akibatnya banyak orang Islam yang saleh di Masjid tetapi tidak membekas ketika keluar dari Masjid. Ketika seseorang mengikuti pengajian, ceramah agama, tabligh, wirid, zikir dan kegiatan keagamaan lainnya menangis tersedu-sedu dengan berurai air mata seolah-olah tobat nasuha untuk tidak akan melakukan dosa dan menebus dosanya dengan melakukan amal kebajikan atau amal saleh ternyata selesai acara pengajian tersebut tidak memberikan bekas apapun terhadap janji dan niat yang di ucapkan. Sehingga jadilah ritual agama itu tidak punya ikatan dengan kondisi dan situasi masyarakat.
Diceritakan bahwa Muhammad Abduh pernah berdialog dengan seorang Pendeta dalam hal masalah teologi yang akhirnya Pendeta tersebut mengakui akan keagungan Agama Islam dan menjadikannya tertarik untuk masuk Islam. Selesai dialog Pendeta itu keluar dari ruangan atau gedung pertemuan. Persis di luar gedung dekat pintu keluar sudah menunggu pengemis yang beragama Islam meminta sedeqah. Apa yang terbayang dari Pendeta tersebut bahwa Islam secara konseptual paripurna namun dari segi aplikasi atau pengamalan jauh panggang dari api. Sehingga dari semula tertarik dengan konsep-konsep Islam menjadikannya mundur atau tidak jadi masuk Islam, walaupun ini tidak bisa digeneralisasi (orang Islam pengemis).
Pelajaran lain yang bisa dipetik dari umat Islam di dunia adalah bahwa berapa banyaknya negara-negara Muslim atau orang Islam yang kaya tapi kemudian sebaliknya berapa banyaknya pula negeri Muslim yang dililit dengan kehidupan yang miskin. Mereka beranggapan tidak perlunya untuk bantu membantu dan tolong menolong. Jadilah kemudian Islam di berbagai tempat diidentikkan dengan kemiskinan, jumud, statis, kebodohan dan keterbelakangan.
Bukankah dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat Allah yang menegaskan tentang keutamaan orang yang beriman dan beramal saleh. Bakan antara Iman dan amal saleh selalu disejalankan. Karena bagaimanapun tidak cukup beriman saja tanpa diringi dengan perbuatan atau amal-amal saleh. Hablun minallah (kesalehan individu) hendaknya terlihat kepada hablun minannas ( kesalehan sosial). Masalahnya kemudian ternyata masyarakat kita banyak yang saleh secara individu/perorangan namun sedikitpun tidak terlihat saleh secara sosial dalam pergaulannya di tengah-tengah masyarakat. Semoga minimal kesalehan individu kita dan masyarakat islam menuju kepada kesalehan sosial. Wallahu a’lam.***
Tulisan Sudah Pernah di Muat di Singgalang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar