Selamat Datang

Selamat Datang di Blog Ini Tempat Anda Berbagi Informasi.
Anda bisa Mengambil Data yang ada selagi Mencamtumkan Tempat Pengambilan.

Jumat, 12 November 2010

Artikel di Ranah Minang

Pudarnya Musyawarah Mufakat
bagi Masyarakat Adat Minang
Oleh: Adlan Sanur Th, M.Ag
(Dosen dan Staf P3M STAIN Bukittinggi)

Pada zaman sekarang, banyak lembaga-lembaga yang ada seperti LSM, Ormas, Perguruan Tinggi termasuk pemerintah membuat rencana kerja, program atau kegiatan untuk masyarakat sendiri saja tanpa meminta pendapat dari masyarakat. Akibatnya rencana kerja program atau kegiatan itu tidak didukung oleh masyarakat desa atau nagari tempat dilakukannya program kerja, program atau kegiatan tersebut sehingga jadilah kegiatan itu berjalan seperti air yang mengalir di sungai tanpa ada menimbulkan kesan terhadap batu yang dilaluinya. Tanpa pernah mengajak partisipasi dan peran serta dari masyarakat akan maksud dan tujuan kegiatan tersebut. Ternyata asas musyawarah mufakat ini tidak hanya hilang atau tidak muncul dari masyarakat namun bagi masyarakat adatpun sudah mulai terkikis. Kegiatan bersama yang disebut dengan need assessment (membuat kegiatan dengan melibatkan masyarakat dan berdasarkan tingkat kebutuhan masyarakat) hanyalah semboyan belaka saja.
Mengapa demikian, karena setiap kegiatan proyekkah namanya, kegiatan, program kerja itu ada uangnya. Kalau dulu, tidak ada uang, jadi harus bekerja dengan tenaga dan dukungan masyarakat semua. Kalau mau mengadakan kegiatan harus mengadakan musyawarah dulu untuk sepakat, di mana lokasinya, apakah masyarakat memang membutuhkan, siapa pelaksananya, bagaimana bentuknya, tidak perlu dibeli ini itu cukup swadaya masyarakat saja, kapan goro bersama untuk persiapan kegiatan, pasca kegiatan bagaimana rencana tindak lajut dan sekian banyak tetek bengek ide dan pendapat yang berkembang. Bahkan mereka perlu juga minta nasehat atau petunjuk dari yang tua-tua dulu sebelum melakukan kegiatan semacam do’a restulah baru kegiatan tersebut dilakukan atau dilaksanakan.
Akan tetapi kenangan masa lalu itu hanya nostalgia saja lagi yang hanya kegunaannya untuk disebut-sebut dan dijadikan buah bibir tanpa pernah diaplikasikan. Masyarakat sekarang bahkan sudah tidak peduli terhadap hukum adat mereka. Ada anggapan bahwa membincangkan adat istiadat itu justru sudah kuno, ketinggalan zaman, basi dan kolot. Dari ungkapan di atas, jelas bahwa proses musyawarah untuk tercapainya kesepakatan sebagai wujud demokra-si di kalangan masyarakat sudah memudar, karena pelbagai kegiatan selalu dengan bantuan uang, akibat-nya nilai-nilai luhur kegotongroyongan, musyawarah untuk mufakat, baio batido (istilah minang ) mulai berangsur-angsur hilang dalam kehidupan masyarakat adat. Justru muncul istilah-istilah yang salah ditengah-tengah masyarakat seperti ” bulek kato di mikrofon bulek aia di paralon ”, ”bersatu kita teguh bercerai kita sama lari”, ” Barek sama pikua surang ringan samo dijinjiang” ka bukit samo mandaki ,ka lurah samo mangurus KTP” dan lain-lain.
Para pemimpin masyarakat adat zaman dulu, dalam pengambilan keputusan, senantiasa mendengarkan pendapat masyarakatnya. Tak pernah menyisihkan mereka, karena pelaksanaan suatu rencana kegiatan atau program dengan melibatkan seluruh elemen adalah merupakan wujud demokrasi. Dengan selalu berpegang pada hukum adatnya akan menjadi tonggak kekuatan dalam melakukan kegiatan. Di dalam hukum adat minang misalnya itu terkandung nilai-nilai luhur dari setiap butir-butir yang terdapat dalam peraturan adatnya. Apakah namanya adat istiadat, adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat nan teradat. Adat salingka nagari juga menjadi pedoman bagi masyarakat nagari tersebut. Tentu setiap peraturan adat akan menimbulkan sanksi yang mendorong masyarakat adat untuk selalu berlaku jujur, adil, taat, setia, tulus dan ikhlas terhadap kesepakatan yang telah diambil.
Dalam proses demokrasi di tengah-tengah masyarakat ini memang terasa lemahnya proses musyawarah untuk mufakat dalam kepemimpinan masyarakat adat. Disamping itu juga sudah pudar dan kurangnya kesadaran dan pengetahuan para pemimpin masyarakat adat terhadap adat istiadat yang berlaku. Hilangnya demokrasi adat itu terlihat apakah dalam memilih pemimpin adat, memutuskan perkara adat, dan lain sebaginya Tidak mustahil kemudian terjadi perselisihan antara mamak dengan kemenakan, antara satu datuk dengan datuk lainnya.
Proses pemilihan pemimpin dalam Masyarakat Adat memang miniatu re kecil dalam alam berdemokrasi. Hal ini juga merupakan suatu indikator yang menentukan kuat dan lemahnya suatu masyarakat adat. Jika kepemimpinan masyarakat adat sudah kuat dan proses pemilihan sudah tercermin dari nilai-nilai adat yang ada maka ini akan langgengnya kehidupan masyarakat adat yang bersangkutan dan meningkatkan peranan pemimpin masyarakat adat. Tetapi jika kepemimpinan masyarakat adat telah melemah atau pudar jelask akan menimbulkan hilangnya nilai-nilai adat dan akan masuknya pngaruh luar terhadap masyarakat adat tersebut.
Padahal asas musyawarah mufakat yang bertumbuh kembang di tengah-tengah masyarakat adat tak terkecuali ranah minang tercinta ini kendatipun bersifat sederhana, dapat menjadi suatu potensi yang besar dalam menunjang sistem demokrasi nasional Bangsa Indonesia. Walaupun istilah demokrasi itu sendiri bagi masyarakat adat makna dan hakikatnya sendiri ninik mamak dan pemangku adat tidak mengetahui...***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar